Datu Pamulutan nama asli beliau adalah Sultan Hamidinsyah yang berasal dari Batang Banyu Mangapan Martapura, pada saat beliau masih hidup beliau juga menggunakan nama M Thaher sebagai nama samaran dalam menjalankan tugas sebagai wali dan hamba Allah. Sedangkan Datu Pamulutan adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat karena beliau suka mamulut (cara berburu dengan menggunakan getah, biasanya untuk berburu unggas) burung.
Sultan Hamidinsyah ini mempunyai adik bernama Sultan Ribuansyah yang juga seorang pendakwah. Dalam menyebarkan Islam mereka menempuh jalan masing-masing, yaitu Hamidinsyah atau Datu Pamulutan ke arah timur dan adiknya Sultan Ribuansyah kearah barat.
Datu Pamulutan mempunyai seorang murid yang selalu mengiringi perjalanan beliau, namanya H Syamsudin, sedangkan nama asli beliau adalah Bamasara. Syamsudin, menurut pendapat sebagian orang adalah penduduk asli Tanjung Dewa yang juga dimakamkan di Pulau Datu, posisinya lurus dihunjuran (bagian kaki) makam gurunya.
Didalam kubah datu pamulutan, masih ada dua makam lainnya, yaitu makam H Abdussamad dan H Jafri, mereka adalah dua bersaudara itu sebagai seorang guru agama dan pada saat wafatnya juga berpesan agar dimakamkan di pulau Datu.
Datu Pamulutan juga seorang pejuang, terbukti dalam perjuangan melawan penjajah, ia mempunyai anak buah, yaitu Patih Mulur dan Patih Matis yang bertugas di daerah Pulau Pinang, Datu Saliwah yang punya ciri muka hilang sebelah di Tabanio, Pangeran Penyapu Rantau, Datu Sumpit Gunung Dewa, Panglima Dumalik Kandangan Lama di Kandangan Lama mempunyai sebuah senjata sakti yaitu parang jarum, karena terbuat dari sekarung jarum, Patih Singa di Tanjung Selatan. Patih Arjan di daerah perbatasan Sebuhur.
Sebelum beliau wafat sudah sempat berpesan, bila kelak dipanggil oleh Allah agar dikuburkan di desa Tanjung Dewa, beliau kemudian menggaris batas tanah dengan ibujari kaki. Untuk membatasi tanah agar tidak tercemar dari hal-hal najis, seperti dikencingi anjing, apalagi sampai diinjak penjajah kafir.
Di sinilah tampak keramat beliau, tanah yang digaris lambat laun menjadi sungai kecil dan akhirnya menjadi lautan. Sehingga tanah yang digaris jadi pulau tersendiri. Datu pamulutan wafat dan dimakamkan di Pulau Datu tahun 1817 Masehi, sedangkan murid beliau menyusul 8 tahun kemudian atau pada tahun 1825 Masehi.
Sebenarnya ia wafat di desa tempat tinggalnya di Martapura, kelak bila meninggal dimakamkan ke Tanjung dewa. Karena jalan waktu itu masih belum seperti sekarang, maka jenazah dibawa lewat sungai kemudian menyisir laut dengan menggunakan sampan. Di sini kembali terlihat karamahnya, sampan yang digunakan menurut pandangan orang awam bukanlah sampan yang layak untuk mengarungi lautan, karena kecil dan lagi bocor, sehingga ragu apakah sampai atau tidak.
Namun dengan ridho dan rahmat Allah akhirnya sampan bisa sampai ke Tanjung Dewa.
Sampai dengan sekarang, tanah yang dibelah oleh jari beliau masih tetap terpisah terpisah dari daratan, yang berjarak sekitar 1,2 - 1,5 kilometer. Makam keramat ini juga sudah menjadi tempat wisata religius, banyak masyarakat baik dari kota pelaihari dan sekitarnya maupun masyarakat Kalimantan Selatan yang mengunjungi makam beliau
Sultan Hamidinsyah ini mempunyai adik bernama Sultan Ribuansyah yang juga seorang pendakwah. Dalam menyebarkan Islam mereka menempuh jalan masing-masing, yaitu Hamidinsyah atau Datu Pamulutan ke arah timur dan adiknya Sultan Ribuansyah kearah barat.
Datu Pamulutan mempunyai seorang murid yang selalu mengiringi perjalanan beliau, namanya H Syamsudin, sedangkan nama asli beliau adalah Bamasara. Syamsudin, menurut pendapat sebagian orang adalah penduduk asli Tanjung Dewa yang juga dimakamkan di Pulau Datu, posisinya lurus dihunjuran (bagian kaki) makam gurunya.
Didalam kubah datu pamulutan, masih ada dua makam lainnya, yaitu makam H Abdussamad dan H Jafri, mereka adalah dua bersaudara itu sebagai seorang guru agama dan pada saat wafatnya juga berpesan agar dimakamkan di pulau Datu.
Datu Pamulutan juga seorang pejuang, terbukti dalam perjuangan melawan penjajah, ia mempunyai anak buah, yaitu Patih Mulur dan Patih Matis yang bertugas di daerah Pulau Pinang, Datu Saliwah yang punya ciri muka hilang sebelah di Tabanio, Pangeran Penyapu Rantau, Datu Sumpit Gunung Dewa, Panglima Dumalik Kandangan Lama di Kandangan Lama mempunyai sebuah senjata sakti yaitu parang jarum, karena terbuat dari sekarung jarum, Patih Singa di Tanjung Selatan. Patih Arjan di daerah perbatasan Sebuhur.
Sebelum beliau wafat sudah sempat berpesan, bila kelak dipanggil oleh Allah agar dikuburkan di desa Tanjung Dewa, beliau kemudian menggaris batas tanah dengan ibujari kaki. Untuk membatasi tanah agar tidak tercemar dari hal-hal najis, seperti dikencingi anjing, apalagi sampai diinjak penjajah kafir.
Di sinilah tampak keramat beliau, tanah yang digaris lambat laun menjadi sungai kecil dan akhirnya menjadi lautan. Sehingga tanah yang digaris jadi pulau tersendiri. Datu pamulutan wafat dan dimakamkan di Pulau Datu tahun 1817 Masehi, sedangkan murid beliau menyusul 8 tahun kemudian atau pada tahun 1825 Masehi.
Sebenarnya ia wafat di desa tempat tinggalnya di Martapura, kelak bila meninggal dimakamkan ke Tanjung dewa. Karena jalan waktu itu masih belum seperti sekarang, maka jenazah dibawa lewat sungai kemudian menyisir laut dengan menggunakan sampan. Di sini kembali terlihat karamahnya, sampan yang digunakan menurut pandangan orang awam bukanlah sampan yang layak untuk mengarungi lautan, karena kecil dan lagi bocor, sehingga ragu apakah sampai atau tidak.
Namun dengan ridho dan rahmat Allah akhirnya sampan bisa sampai ke Tanjung Dewa.
Sampai dengan sekarang, tanah yang dibelah oleh jari beliau masih tetap terpisah terpisah dari daratan, yang berjarak sekitar 1,2 - 1,5 kilometer. Makam keramat ini juga sudah menjadi tempat wisata religius, banyak masyarakat baik dari kota pelaihari dan sekitarnya maupun masyarakat Kalimantan Selatan yang mengunjungi makam beliau
(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment