Monday, 31 October 2016

CERITA ASAL USUL TANAH MERAH PELAIHARI

Tanah adalah sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Tanah asalnya terbentuk dari bebatuan yang mengalami pelapukan. Proses pelapukan ini terjadi dengan membutuhkan waktu yang sangat panjang dari ratusan tahun bahkan mencapai ribuan tahun. Pelapukan batuan yang menjadi tanah juga dibantu dengan beberapa mikroorganisme, perubahan suhu dan air.
Jenis tanah dari satu daerah dengan daerah lainnya juga berbeda, hal ini tergantung dari komponen yang ada di dalam daerah tersebut, selain itu juga letak astronomis dan geografis sangat mempengaruhi jenis tanah tersebut.

Begitu pula dengan warna tanah disetiap tempat dapat berbeda – beda. Warna tanah sebenarnya dihasilkan dari gabungan berbagai warna komponen penyusun tanah. Warna tanah berhubungan langsung secara proporsional dari total campuran warna yang dipantulkan permukaan tanah. Warna tanah sangat ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan spesifik menyebabkan makin dominan menentukan warna tanah, sehingga warna butir koloid tanah (koloid anorganik dan koloid organik) yang memiliki luas permukaan spesifik yang sangat luas, sehingga sangat mempengaruhi warna tanah. Warna humus, besi oksida dan besi hidroksida menentukan warna tanah. Besi oksida berwarna merah, agak kecoklatan atau kuning yang tergantung derajat hidrasinya.

Di kabupaten Tanah laut tepatnya di Kecamatan Pelaihari, salah satu daerah yang tanahnya yang berwarna, yaitu berwarna merah letaknya di seputaran Terminal Tanah Habang, diseputaran Pasar Tuntung pandang sampai dengan ex Lapangan Hasan Basri atau lapangan Gembira orang dulu menyebutnya.

Melihat warna tanah dan struktur tanah yang ada, berdasarkan pengamatan secara manual dan dikomparasi dengan literatur - literatur, tanah tersebut kemungkinan termasuk tanah jenis latosol, Jenis tanah ini terdapat beberapa bagian wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi, lampung, Kalimantan, Bali dan Papua.

Tanah ini terbentuk dari pelapukan batuan sedimen dan metamorf. Ciri-ciri dari tanah latosol adalah warnanya yang merah hingga kuning, teksturnya lempung dan memiliki solum horizon. Persebaran tanah latosol ini berada di daerah yang memiliki curah hujan tinggi dan kelembapan yang tinggi pula serta pada ketinggian berkisar pada 300-1000 meter dari permukaan laut. Tanah latosol tidak terlalu subur karena mengandung zat besi dan alumunium, namun agar lebih tepat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut jenis apa sebenarnya tanah merah di daerah tersebut.

Terlepas dari kajian keilmuan tanah, bagaimana proses itu terjadi dan apa yang menyebabkan warna merah tanah didaerah tersebut, ada sebuah dongeng yang berkembang di kalangan orang tua dulu bahwa tanah tersebut akibat dari matinya seekor babi purba yaitu babi pulangari, binatang ini terkait dengan legenda munculnya nama pelaihari (Dari Mana Kata Pelaihari Muncul??)

Babi ini cukup besar sebesar anak kerbau yang berumur 2 tahun. Babi ini bulunya terdiri dari tiga warna merah, hitam dan putih, sehingga masa itu diberi gelar si tiga warna. Babi ini cukup rakus, sehingga menjarah tanaman apasaja yang ditemukannya. Kawanan babi suka bergerombol dengan jumlah mencapai 30an ekor, dan pulangari adalah pemimpin gerombolan babi – babi tersebut.

Keberadaan babi purba ini pada masa itu dirasakan sangat mengganggu aktifitas masyarakat. Sehingga masyarakat pda waktu itu memutuskan untuk memburu dan membunuh babi purba (Pulangari atau si tiga warna) tersebut. Tetapi masyarakat sangat kesulitan untuk menangkap atau memburu babi pulangari tersebut. Namun setelah berbulan bulan lamanya akhirnya pada suatu ketika babi pulangari ini terkurung dalam jebakan yang dibuat oleh masyarakat. Setelah babi purba atau pulangari atu si tiga warna tersebut terkurung dan terjebak dalam kurungan jebakan yang dibuat oleh masyarakat, maka beramai – ramailah orang – orang menusuk dan mencincang binatang tersebut, karena banyaknya tusukan dan cincangan pada badan tersebut akhirnya pulangari, atau si tiga warna tidak mampu lagi bergerak dan mengeluarkan darah yang cukup banyak, sehingga banyaknya darah yang dikeluarkan oleh si babi purba atau pulangari atau si tiga warna inilah konon darahnya meresap di setiap tanah yang dialiri oleh darah pulangari, akhirnya tanah disekitar lokasi kematian pulangari berubah menjadi merah, dan akhirnya pula tanah didaerah seputaran terminal, pasar tuntung pandang (dulu disebut juga kampung gedang) menjadi berwarna merah sampai dengan sekarang, sehingga masyarakat pelaihari mengenalnya dengan daerah itu sebagai daerah tanah merah atau tanah habang.

(dirangkum dari berbagai sumber)


Sunday, 30 October 2016

LEGENDA BATU LIMA - KUALA TAMBANGAN TANAH LAUT




Batu Lima adalah salah satu obyek wisata yang ada di Kabupaten Tanah laut, terletak di desa Kuala Tambangan kecamatan Takisung, dari ibukota Kabupaten Tanah Laut (Pelaihari) berjarak ± 35 km.

Sama halnya dengan dibeberapa pantai di Indonesia kita sering mendengar legenda terkait keberadaan atau peristiwa peristiwa yang konon pernah terjadi dipantai tersebut. seperti cerita Malin Kundang, Nyi Roro Kidul dll.

Di Pantai Batu Lima pada zaman dahulu kala di hiduplah lima orang laki-laki bersaudara, yang tertua bernama Datu Cau, yang kedua bernama Datu Ajang, yang ketiga bernama Datu Lampiji, yang ke empat bernama Datu Senjai dan yg kelima bernama Datu Malin Kabau. Datu Cau sebagai saudara yg paling tua pada saat itu sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang putera yg bernama Malin Cali. Kelima bersaudara ini berasal dari Suku Bugis sebagaimana layaknya orang bugis mereka menghidupi keluarganya denngan mencari ikan di laut.

Masyarakat nelayan disekitar wilayah Batu Lima mempercayai bahwa di pantai Batu Lima ada sejenis ikan Pari yang berwarna putih, dan apabila para nelayan melihat ikan tersebut maka di larang untuk menangkap apalagi membunuhnya. Apabila da orang yang melanggar pantangan tersebut maka dia akan mendapat bala(kutukan)

Suatu hari berangkatlah lima orang bersaudara ini bekerja dilaut untuk mencari ikan, pada hari itu meraka mendapat hasil yg sangat banyak termasuk menangkap ikan pari putih yg dilarang, karena saking banyaknya tumpukan ikan diwadah mereka tanpa sadari mereka telah membunuh ikan pari tersebut. Maka dalam sekejap saja langit di Pantai Batu Lima berubah mendung, awan menjadi gelap dan datanglah badai yg menerpa kelima bersaudara tersebut.

Dalam perahu itu kelima bersaudara ini kebingungan dan takut, kemudian mereka teringat akan mitos tentang ikan pari putih. tiba saja berubah menjadi batu yang sekarang bersusun lima buah. Kejadian tersebut membuat keluarga kelima nelayan tersebut akhirnya memutuskan untuk melakukan ritual bersih-bersih diri dengan melakukan ritual adat Banjar yaitu mandi bedudus. sampai saat ini keturunan dari Datu Malin Cali (anak Datu Cau) melakukan ritual mandi BADUDUS (mandi mandi) di waktu yg d tentukan agar tidak menjadi bencana atau penyakit bagi keturunan mereka.

(dari berbagai sumber)

TABANIO - Kampung Pelarian Putra Mahkota Kesultanan Banjar

Distrik Tabanio (dahulu Afdeeling Tabanio) adalah bekas distrik (kawedanan) yang merupakan bagian dari wilayah administratif Onderafdeeling Tanah Laut pada zaman kolonial Hindia Belanda dahulu. Distrik Tabanaio ini meliputi daerah aliran sungai Tabanio, yang dipimpin oleh Kepala Distrik (districhoofd)

Pada saat zaman kerajaan Banjar Kampung Tabanio merupakan daerah yang sangat strategis bukan saja sebagai daerah lalu lintas kedatangan bagi masyarakat luar Banjar, tetapi juga daerah perdagangan, bahkan menurut menurut Onderkoopman Ring Holm merupakan pusat perdagangan gelap yang paling ramai di Kalimantan. hal dimungkinkan karena Tabanio merupakan daerah pesisir.

Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa hubungan masyarakat Tabanio pada masa itu dengan kerajaan Banjar sangat erat, hal ini dapat dilihat dalam catatan sejarah tentang pelarian putra mahkota Kesultanan Banjar ke Kampung Tabanio, yaitu Pangeran Muhammad Aminullah pada saat terjadinya kecamuk di istana kesultanan kerajaan Banjar.

Perebutan tahta diawali ketika Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning wafat pada tahun 1734 M dengan meninggalkan seorang putera yang masih berusia sekitar 5 tahun bernama Muhammad Aminullah. Kejadian tersebut menimbulkan pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan sebab putra mahkotanya masih belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah I, sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan diserahkan.

Pangeran Tamjidillah I sebagai wali sultan mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politik berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang telah dewasa dijadikannya sebagai menantu. Dengan perkawinan tersebut Pangeran Tamjidilah memperhitungkan bahwa menantunya (putra mahkota) tidak akan sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan ayahnya sendiri.

Tetapi bagaimanapun juga dalam hati Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah masih terbersit ingin mengambil kembali haknya atas tahta kerajaan sebagai ahli waris yang sah dari Sultan Kuning. Akhirnya Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang tepat untuk merebut kembali tahta pamannya. Sementara itu Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidillah I pada tahun 1747 membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787.

Belanda melalui siasat politiknya, juga menjalin hubungan dengan Pangeran Muhamamad Aminullah di Tabanio. Belanda melihat Pangeran Muhamamad Aminullah beserta pasukan lautnya sangat berhasil dan efektif untuk memotong jalur perdagangan di Kesultanan Banjar sehingga mengakibatkan dampak yang cukup besar bagi perekonomian kesultanan Banjar. Dengan kondisi tersebut akhirnya rencana Belanda untuk menguasai perekonomian lada hitam bisa menjadi kacau. Keadaan tersebut mrmbuat Belanda melancarkan strategi adu domba dengan mendekati Muhammad Aminullah. Belanda bahkan menawarkan bantuan kepada Muhammad Aminullah untuk kembali meminta haknya sebagai pewaris tahta di Kesultanan Banjar.

Sikap Belanda dengan memihak kedua kubu dibuktikan ketika Belanda yang diwakili oleh J.A. Paraficini membuat surat perjanjian dengan Sultan Tamjidillah I pada tanggal 20 Oktober 1756. Seminggu kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Oktober 1756, Paraficini juga membuat perjanjian dengan Muhammad Aminullah di Tabanio.

Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah melaksanakan maksudnya semula yaitu merebut kembali tahta kesultanan, dari tugas pamannya yang sekaligus mertuanya, mengambil hak atas tahta sesuai dengan tradisi yang sah dari kesultanan Banjarmasin. Menggunakan sejumlah perahu dengan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bertolak dari Tabanio menyusuri Tanjung Silat yang berombak besar dan kadang-kadang angin bertiup kencang, kemudian memasuki sungai Barito, terus berbelok ke sungai Martapura, akhirnya sampai ke Martapura. Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidullah I tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut.

Dengan dasar pertimbangan jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah I menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin.

Secara lahiriah Pengeran Tamjidillah I ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Mohammad Aliuddin, tetapi dalam hati Pangeran Tamjidillah I sangat tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan. Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah I membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah I menyerahkan tahta kepada Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Muhammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati

Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Muhammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761, diduga kematian Sultan ini akibat diracun.

Meskipun pemerintahan Muhammad Aliuddin Aminullah hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, usahanya lebih banyak menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak Sulta Muhammad Aliudin Aminullah sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lilc yang berbunyi sebagai berikut :

Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai.

Sultan Muhammad yang selengkapnya Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah atau Sultan Muhammadillah meninggalkan anak Putri Lawiyah, ibu Sultan Sulaiman Saidullah bin Sunan Sulaiman Saidullah. Pangeran Abdullah (Putra Mahkota), menikah dengan Ratu Aer Mas binti Tahmidullah II, Pangeran Rahmat (Baca juga Pangeran Datu Ahmad Keramat Istana Pelaihari) dan Pangeran Amir, kakek dari Pangeran Antasari Gusti Kusin

Jadi dapat disimpulkan bahwa Kampung Tabanio yang ada di Kabupaten Tanah Laut pada masanya sangat berperan penting bukan saja dalam perjalanan riwayat Kesultanan Banjar tetapi pada masa perjuangan melawan Belanda.

(dirangkum dari berbagai sumber)

DARI MANA KATA PELAIHARI MUNCUL ??

Barangkali banyak di benak orang muncul pertanyaan yang mempertanyakan sejak kapan istilah Pelaihari ini ada, darimana asalnya dan adakah yang unik sehingga nama Pelaihari menjadi nama sebuah tempat. Sampai saat ini belum ada kejelasan, kapan (tanggal, bulan dan tahun) lahirnya nama Pelaihari.

Karena sulitnya melacak sejarah kapan penyebutan pelaihari ini pertama kali dikenal akhirnya muncullah beragam versi mengenai asal-usul nama Pelaihari antara lain, Bapak Achmad Sjakrani salah seorang tokoh pendiri Tanah Laut, mengatakan bahwa nama pelaihari berasal dari kata "PELARI", yang maksudnya adalah tempat pelarian pahlawan-pahlawan Banjar dalam menentang Belanda. Namun beliau tidak dapat menjelaskan siapa yang memberikan nama demikian. Beliau hanya menyebutkan bahwa dulunya pelaihari merupakan hutan yang sangat lebat sehingga menjadi tempat yang strategis untuk menyembunyikan diri dari kejaran musuh.

Sumber lainnya, yakni Arthum Artha seorang penulis sejarah dan wartawan di Kalimantan Selatan menyatakan dalam bukunya "Gelanggang Tanah Laut", bahwa nama Pelaihari berasal dari nama seorang yang mula-mula membuka perkebunan lada Mulocco (Malocco) yang kemudian menjadi Maluka, yaitu Master Here. Pada zaman penjajahan Inggris, yang menjalankan kekuasaan ialah Alexander Hare. Ia munujuk salah seorang keluarganya yaitu Master Hare (Mr. Pley Hare) untuk membuka perkebunan lada di Tanah Laut. Menurut Arthum, nama Pley Hare ini sering diucapkan oleh orang-orang di Tanah Laut dengan sebutan Pelaihari, seperti pada umumnya penyebutan nama-nama orang asing lainnya di Tanah laut, misalnya Alexander menjadi Alikandar dan Mulocco menjadi Maluka.

Ada juga sebuah dongeng yang berkembang di kalangan orang tua dulu bahwa nama pelaihari berasal dari nama binatang sejenis babi purba yang dinamai (baca juga cerita asal usul tanah merah) (baca juga cerita tnah merah) . Babi ini cukup besar sebesar anak kerbau yang berumur 2 tahun. Babi ini bulunya terdiri dari tigawarna merah, hitam dan putih, sehingga masa itu diberi gelar si tiga warna. Babi ini menjarah tanaman apasaja yang ditemukannya. Kawanan babi suka bergerombol dengan jumlah mencapai 30an ekor, dan pulangari adalah pemimpin gerombolan babi – babi tersebut, sehingga nama pelaihari diambil dari nama babi si tiga warna tersebut, dari pulangari inilah lama kelamaan penyebutan berubah menjadi pelaihari.

Pada zaman Belanda, penulisan pelaihari ada dua beragam versi ada yang menulisnya “Pelaihari” dan beberapa instansi yang menulis “Pleihari". Pada zaman Bupati pertama Abdullah Sjahril, penulisan nama kota ini diseragamkan menjadi seperti yang kita ketahui sekarang ini yaitu "PELAIHARI".

Secara administrasi kota Pelaihari sudah tercatat dalam catatan Belanda pada tahun 1849 yaitu Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8 Dalam tahun 1863 daerah Tanah Laut merupakan Afdeeling Tanah-Laut. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178 Tanah Laut menjadi salah satu onderafdeeling di dalam Afdeeling Martapoera yaitu Onderafdeeling Tanah Laoet terdiri dari : Distrik Pleihari, Distrik Maluka, Distrik Satui.

Pada akhirnya menjadi tugas kita untuk melacak dan menelusuri lebih jauh kapan dan bagaimana sehingga penamaan PELAIHARI ini muncul dan dikenal sampai sekarang.


(dirangkum dari berbagai sumber

EDISI NAMA TEMPAT : PEBAHANAN - KAB. TANAH LAUT


Cukup banyak makna misteri yang terkandung kenapa terkadang sebuah kampung atau sebuah desa atau sebuah tempat diberi nama atau gelaran, banyak dari kita tidak tahu persis bagaimana kejadian atau prosesnya, sehingga sebuah kampung diberi nama dengan sebuah nama yang tertentu, begitu pula di Kabupaten Tanah Laut misalnya banyak kampong atau desa atu sebuah tempat yang ada dikabupaten Tanah Laut mempunyai sebutan – sebutan yang kita tidak tahu persis apa maksud dan makna dari nama itu, atau apa sejarahnya sehingga nama tersebut muncul, hal tersebut disebabkan banyak faktor salah satunya karena minimnya dokumentasi tentang riwayat sebuah kampong atau suatu kejadian, sehingga terkadang kita hanya mendengarnya dari cerita mulut ke mulut orang tua bahari (dulu), yang entah apakah itu sebuah kejadian nyata atau hanya sebuah legenda.


Salah satu contoh misalnya kelurahan Pebahanan yang ada di kecamatan Pelaihari kabupaten Tanah Laut, bagaimana dan siapa yang pertama kali memberikan nama desa tersebut, atau kejadian apa yang melatarbelakangi sehingga tempat tersebut bernama pebahanan. Desa pebahanan ini terletak kurang lebih 3 (tiga) km dari kota Pelaihari, terletak di tepi jalan raya Pelaihari – Banjarmasin. Penduduknya mayoritas adalah suku melayu Banjar dan sebagian dari suku jawa kebanyakan dari mereka asalnya adalah dari bekas buruh kontrak karet tanah ambungan. Menurut sebuah riwayat pinutur dari mulut ke mulut dahulunya pekerjaan para penduduk yang mendiami desa tersebut adalah bertani, beternak dan kebanyakan mencari kayu dihutan didekat desa tersebut untuk ditebang dijadikan bahan - bahan kebutuhan sehari hari. Hal ini dikarenakan pada waktu itu di lokasi yang sekarang menjadi kelurahan pebahanan adalah sebuah hutan cukup lebat yang ditumbuhi beragam macam jenis pepohonan


Kayu – kayu hutan yang ditebang kemudian dibawa kekampung dengan menggunakan glendengan yang ditarik oleh seekor sapi. Sesampai diperkampungan kayu tersebut diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kampong bahkan dari luar kampong sebagai papan untuk bahan membuat rumah, juga digunakan oleh masyarakat sebagai bahan membuat glendengan sapi dan sisa - sisa potongan kayu digunakan sebagai bahan bakar (kayu pemangkih bhs banjar). Pada masa itu banyak kalangan masyarakat diluar kampong tersebut memesan kayu yang sudah diolah untuk mereka gunakan sebagai bahan membuat rumah tinggal, bahan bakar rumah tangga mereka atau sebagai bahan pembuat glendengan, karena pada saat itu glendengan sapi adalah satu alat transportasi yang sangat penting, baik untuk angkutan orang maupun angkutan barang.


Maka menurut cerita orang – orang tua dulu sejak saat itulah karena lintas bahan dari kayu olahan dari masyarakat kampung tersebut banyaknya dipesan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di sekitar perkampungan maupun dari luar perkampungan, maka akhirnya sejak itulah dikenal kampong tersebut sebagai kampong pebahanan (yang artinya kampung yang menyediakan bahan-bahan). Setiap orang yang akan ke kampong tersebut selalu menyebut ke kampong pebahanan, hingga dikenal sampai sekarang sebagai kelurahan pebahanan


(dari sumber cerita pinutur)

EKSOTISME GUA KUDA BESAR - RIAM ADUNGAN

Wednesday, 26 October 2016

NOSTALGIA GULA PELAIHARI (1982 - 2001)

Pada tahun 1980an Kab. Tanah laut, Kota Pelaihari bagi masyarakat Kalimantan Selatan dikenal sebagai pemasok gula bagi masyarakat Kalimantan Selatan, hal ini disebabkan pada saat itu di Kabupaten Tanah Laut mempunyai sebuah pabrik gula yang berada di Desa Ambungan.

Pada saat itu pembangunan pabrik gula di Pelaihari bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gula nasional yang kian meningkat. Adapun Gagasan pembangunan pabrik gula Pelaihari ini adalah merupakan aspirasi masyarakat Tanah Laut kepada pemerintah pusat melalui memorandum DPRD II Tanah Laut Kalimantan Selatan Nomor 02/MEMO/DPRD-TL tanggal 2 November 1980 yang ditanda tangani oleh Ketua DPRD KH Abdul Wahab (alm).

Memo tersebut ditujukan kepada pemerintah pusat dengan dengan isi agar pemerintah pusat dapat membangun pabrik gula di Pelaihari dengan tujuan untuk penyerapan tenaga kerja dan mempercepat swasembada gula, adanya informasi dari Pemerintah Kabupaten Tanah Laut yang menyediakan lahan seluas 22.000 ha, maka akhirnya pemerintah pusat memberikan tanggapan positip terhadap aspirasi masyarakat ini.

Maka pada tahun 1982 Pemerintah Pusat merealisasikan pembangunan pabrik gula Pelaihari dengan biaya keseluruhan mencapai US$ 130,2 juta, 60% dari dana pembiayan tersebut merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia, dan PT. Perkebunan XXIV-XXV sebagai pengelola proyek pengembangan ini, dengan memakai pola perkebunan inti rakyat (PIR).

Proses pembangunan pabrik gula ini banyak menemui kendala, kendala yang cukup serius adanya klaim oleh warga sebanyak 11.000 ha dari lahan yang diseiapkan oleh Pemerintah Daerah sebanyak 22.000 ha, sehingga pada saat itu gubernur Kalimantan Selatan HM Said turun tangan dengan mengundang Tim Optibsus penertiban pertanahan di Tanah Laut untuk melakukan investigasi. Hasil investigasi tersebut dinyatakan 648 sertifikat tanah adalah cacat hukum. Akhirnya dengan segala macam kendala pembangunan pabrik gula pelaihari dapat dilaksanakan.

Keberadaan pabrik gula ini sangat berpengaruh pada sektor perekonomian kabupaten Tanah Laut, bukan saja mampu menyerap banyak tenaga kerja tetapi juga mampu menjadi penggerak sector – sector lain. Tercatat pada tahun 1986 jumlah uang beredar di Tanah Laut berupa Tabanas, giro dan pengiriman uang naik dengan pesat 80% per tahun dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 1,4 milyar dalam kurun waktu 1982-1985. Deposito berjangka naik 2.000 % dari Rp.8,4 juta pada tahun 1982 menjadi Rp. 194 juta pada tahun 1985.

Hal ini disebabkan salah satunya juga karena adanya pertambahan jumlah penduduk sehubungan dengan segala aktivitas yang ada di pabrik gula, di wilayah kerja pabrik telah bermukim 700 kk petani plasma eks transmigran ditambah dengan 1.437 orang karyawan pabrik belum termasuk buruh tebang dan tenaga borongan lainnya.

Pada saat itu kota Pelaihari masih tergolong kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 38.000 jiwa. Dampak positif dari pertambahan penduduk ini juga mempengaruhi sektor-sektor perdagangan non formal lain seperti bertambahnya kios dan toko baru, bengkel-bengkel motor, serta jasa angkutan umum lainnya. Namun sayangnya geliat roda ekonomi Tanah Laut yang amat positip pada era tersebut tidak diikuti dengan semakin membaiknya pula kondisi manajemen pabrik gula Pelaihari.

Namun sayangnya seiring dengan perjalan waktu keberadaan pabrik gula pelaihari mulai meredup, hal ini disebabkan banyak factor, antara lain karena pada saat tertentu kondisi musim yang kurang mendukung, konflik manajemen, penataan tenaga kerja dsb, sehingga pabrik gula pelaihari mengalami kemerosotan.

Dengan segala daya dan upaya dilakukan untuk keberlangsungan pabrik gula Pelaihari, tetapi akhirnya pabrik ini harus menyerah kepada keadaan, sehingga pada tanggal 25 Oktober 2001 pabrik ini resmi dilikuidasi oleh pemerintah. Perkebunan Nusantara XI resmi menarik diri dari bumi tuntung pandang Tanah Laut, padahal keberadaan pabrik gula pelaihari saat itu sangat banyak membantu sector perekonomian di Kabupaten Tanah laut bahkan pada masa itu setiap masyarakat di kalimatan Selatan selalu menyebut gula dengan sebutan GULA PELAIHARI.

"AKHIRNYA GULA PELAIHARI HANYA TINGGAL CERITA DAN KENANGAN MASA LALU."
 
(dari berbagai sumber)


Tuesday, 25 October 2016

KAMPUNG CINA PARIT PELAIHARI


Kampong Parit adalah sebuah perkampungan yang sangat tua yang ada di Kota Pelaihari Kab. Tanah Laut, kampong ini terletak di sebelah Timur Kota Pelaihari, kurang lebih 500 meter dari komplek pasar Tuntung Pandang Pelaihari, atau berbatasan dengan Kampung Sarang Halang.

Menurut ceritanya bahwa nama kampong parit ini diambil dari kata parit atau saluran. Karena riwayatnya pada zaman dahulu kampong ini adalah sebuah tambang emas yang menggunakan parit atau saluran sebagai penampungan pasir emas. Proses penambangannya pada setiap tanah yang mengandung emas digali kemudian tanah dari hasil penggalian tersebut dialirkan pada sebuah panggungan penampung air yang dibawahnya terdapat parit saluran air yang memanjang dan tertutup. Pada saat dibuka air yang ada dipenampungan mengalir dan menyisakan pasir emas ditanah diparit atau saluran tersebut, system ini disebut system tabangan.

Orang – orang yang mendiami kampong parit tersebut adalah para pekerja tambang emas dari china. Memang cukup sulit untuk memastikan kapan dan bagaimana cara mereka pertama kali datang ke kampung parit, ada dua versi pola kedatangan mereka ke kampong parit, versi yang pertama menyebutkan bawah mereka para etnis cina tersebut didatangkan oleh Alexander Hare, komisioner residen Inggris untuk Kalimantan sekitar tahun 1815 yang berkedudukan di maluka Baulin dalam rangka penggalian potensi emas yang ada di Pelaihari (kampong parit tersebut). Pada tahun 1815an Pelaihari masih dalam kekuasaan inggris yang mencakup yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau, Pulau Lampai (Poeloe lampej/pulu-lampei) dan Pulau Sari. Versi lainnya menyebutkan bahwa mereka datang atas permintaan dari Kerajaan Banjar pada masa Puteri Junjung Buih dan Patihnya Lambung Mangkurat pada abad ke 13 dengan tujuan untuk membantu kerajaan Banjar sebagai tenaga ahli dalam penggalian emas di pelaihari (kampong parit sekarang). Mereka datang melalui sungai Tabanio berjumlah 11 (sebelas) orang sebagai ahli pertambangan. Sebelas orang inilah yang pertama kali tinggal dan menetap di kampung parit untuk melakukan penambangan emas dengan sistem tabang, mereka beranak pinak hingga sampai sekarang. Dalam catatan sejarah pada tahun 1817 tercatat, Orang Cina Parit yang tinggal di Distrik Pleihari, Afdeeling Martapoera dipimpin oleh Gho Hiap Seng, dan dia bertanggungjawab kepada pemerintahan hindia belanda.

Konon etnis china yang didatangkan ke Pelaihari tersebut adalah etnis cina Hakka, salah satu etnis yang kabarnya mempunyai karakteristik pekerja keras, mandiri dan mempunyai kemampuan bertani, beternak, berkebun dan membuat tembikar dan ahli dalam menambang emas, juga jujur dalam bekerja tetapi kurang memliki kemampuan dalam berdagang. Sebutan bagi pendatang dari cina yang menggali emas tersebut disebut orang – orang cina parit, dan itu berlaku bukan saja di Kalimantan Selatan tetapi juga jadikan sebutan bagi para imigran cina penambang timah yang datang ke pulau Bangka dan Belitung.

Kedatangan orang Cina ke Kalimantan Selatan sebenarnya sudah lama jauh sebelum kedatangan mereka di Kampung parit Pelaihari. Awalnya mereka diundang oleh Empu Jatmika, pendiri Kerajaan Negara Dipa (1387-1495). Saat itu, kerajaan memerlukan pematung logam yang hanya dikuasi oleh pengrajin asal Tiongkok. Selanjutnya, makin berkembang, dengan kedatangan para pedagang Cina di masa Sultan Hidayatullah I (1570-1595)

Penamaan orang Cina Parit (Chinese Parit) dipakai secara resmi sebagai salah satu kelompok etnik yang mendiami Kalimantan Selatan menurut Museum Lambung Mangkurat (Museum Daerah Kalsel), karena sejak semula kedatangannya ke daerah ini orang Tionghoa disebut sebagai 'Urang Cina' dalam bahasa Banjar.

Sekarang kampung parit telah menjadi sebuah perkampungan yang dihuni oleh mayoritas etnis cina barangkali keturunan keempat atau kelima dari nenek moyang mereka yang pertama kali datang ke Pelaihari dan tinggal di kampung parit. Kampung Parit dapat dikatakan adalah salah satu kampung yang memiliki nilai historis dalam perkembangan masyarakat maupun perkembangan kota Kabupaten Tanah Laut dan sekitarnya.

(dari berbagai sumber)

Monday, 24 October 2016

DATU NAFIS ATAU DATU ALIF BA TA - GUNUNG KERAMAIAN

Datu Nafis, nama lengkap beliau adalah H. Muhammad Nafis bin Ideris dilahirkan pada tanggal 11 Dzulhijah 1147 H, beliau wafat dalam usia 93 tahun, yaitu pada tahun 1240 H.

Datu Nafis berasal dari martapura dan merupakan salah satu murid Datu Kelampaian Syekh Muhammad Arsyad Albanjari. H. Muhammad Nafis bin Ideris setelah berguru dengan Datu Kelampaian beliau mengajarkan ilmunya di Martapura. Beliau dikenal sebagai sosok yang rajin belajar dan haus akan ilmu agama, akhirnya pada usia 40 tahun beliau ke mekkah untuk menunaikan haji sekaligus belajar ilmu agama. Hal tersebut pada saat pada Datu Nafis berusia 40 tahun. Beliau tinggal diMekkah selama 15 tahun. Saat berusia 55 tahun akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke Martapura menjadi guru agama di martapura selama 3 tahun.

Semangat beliau untuk berdakwah sangat tinggi, beliau mendengar disuatu kampong didaerah Pelaihari terdapat sebuah kampong yangmasih sangat kental dengan ilmu sihir dan paham animism, sehingga beliau memutuskan untuk menyiarkan dakwah islam di daerah pelaihari tepatnya di Desa Ujung Batu, saat itu Datu Nafis sudahberusia 58 tahun. Mengingat usia dan kondisi kesehatan beliau akhirnya memutuskan untuk menetap di kampung ujung batu tersebut.

Di desa ujung batu beliau pertama tama mengajarkan baca tulis huruf arab yaitu membaca alquran baik bagi anak anak maupun orang tua. Karena pelajaran membaca alquran dimulai belajar huruf alif, ba ta dst, sehingga saat itu beliau dikenal dengan Datu alif ba ta atau juga datu di bata.

Selain mengajarkan ilmu agama di daerah pelaihari kegiatan beliau sehari hari di kampong Ujung Batu adalah bertani (bahuma) , berkebun seperti rambutan durian dll, serta juga membuat gula merah, disela kesibukan beliau juga rajin menulis buku buku agama.

Dalam sebuah cerita konon pernah terjadi perkelahian antara Datu Nafis dengan makhluk halus di hutan desa Ujung Batu. Hal tersebut diawali pada suatu ketika saat beliau berada di atas pohon untuk membuat air gula merah, pada saat itu datanglah seorang laki-laki yang tidak beliau kenal untuk meminta air gula merah (lahang), karena beliau berada diatas pohon maka beliau menyuruh agar laki – laki tersebut untuk mengambil sendiri air gula merah yang berada di bawah pohon tersebut. Tidak beberapa lama kemudian saat beliau turun dari pohon aren beliau melihat air gula merah yang ada dibawah pohon tidak berkurang samasekali, padahal pada saat beliau berada diatas pohon ada orang yang ingin meminta air gula merah tersebut. Melihat hal tersebut beliau mendapat firasat bahwa hal ini bukan kejadian biasa.

Sesampai dirumah, maka kejadian tersebut sampaikan kepada isteri beliau, kemudian beliau berpesan bahwa nanti malam beliau mempunyai sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan. Setelah shalat Isya Datu Nafis berangkat menuju ke hutan yang selama ini digunakan untuk bertani dan berkebun. Sesampainya dilokasi tersebut beliau melihat bahwa tanamannya sudah mulai layu dan mongering, dengan menggunakan mata batin beliau melakukan komunikasi dengan para makhluk halus yang ada di hutan tersebut. Dalam komunikasi tersebut para penunggu hutan menginginkan tumbal dan sesajen seperti layaknya yang selama ini dilakukan oleh masyarakat setempat agar tanamannya aman dari gangguan mereka, apabila tumbal dan sesajen tidak dipenuhi maka seluruh tanaman beliau akan di musnahkan oleh para makhluk halus penunggu hutan tersebut.

Beliau berketetapan bahwa beliau tidak akan memberikan sesajen apapun bagi makhluk halus tersebut, karena hal itu adalah termasuk perbuatan syirik, dan terjadilah perkelahian antara Datu Nafis atau Datu Alif Ba Ta dengan para jin penunggu hutan tersebut. Perkelahian tersebut sangat seru, bahkan menurut cerita pohon-pohon yang ada dihutan tersebut banyak yang tumbang dan layu. Datu nafis dengan ijin Allah SWT akhirnya dapat mengalahkan para mahkluk tersebut, bahkan para makhluk halus mengaku tunduk dan bersedia untuk menjadi khadam beliau.

Tetapi beliau dengan penuh welas asih tidak mau menerima keinginan para makhluk halus tersebut, tetapi beliau hanya mau bersahabat tanpa ada ikatan apa-apa dan beliau berpesan agar para makhlus halus yang ada dihutan tidak lagi mengganggu masyarakat yang memanfaatkan sumber daya hutan tersebut.

Maka sejak itu kebiasaan masyarakat menaruh sesajen dan memberikan tumbal untuk makhluk halus mulai berkurang, bahkan masyarakat mulai ebrbondong – bonding untuk belajar agama kepada beliau.

Akhirnya pada bulan rajab tahun 1240 H dalam usia 93 tahun Datu Nafis atau Datu Alif Ba Ta meninggal di desa ujung batu dan dimakamkan di kaki gunung keramaian.

Dari Keturunan beliau banyak melahirkan tokoh - tokoh ulama di Pelaihari seperti : K.H Ahmad Nawawi Penjaratan, K.H Ismail bati-Bati, K. H Mansur (Datu Tangah) Pelaihari dll

(Dari berbagai sumber)




Thursday, 20 October 2016

DATU INSAD - DESA SAMBANGAN TANAH LAUT


Menurut riwayat Datu Insad berasal dari Kampung Kuin Banjarmasin. Beliau adalah salah seorang murid dari khatib Dayan, seorang ulama dari Kerajaan Demak yang mengislamkan Pangeran Samudera alias Pangeran Suriansyah. Dari Khatib dayan inilah Datu Insad menimba ilmu pengetahuan Agama Islam antara lain ilmu Syariat, ilmu Tauhid dan ilmu tentang pengenalan kepada Allah SWT.
Adapun nama asli beliau adalah maulana Abdush Samad diperkirakan lahir pada tahun 1015 H/1594 M dan wafat pada 5 Rabiul Awal 1135 H/1714 M. Datu Insad adalah nama masyhur  beliau, selain itu juga beliau dikenal dengan Datu Shamada atau Datu Tungkaran
Menurut riwayatnya banyak perbuatan Datu Insad yang sangat menyalahi adat bagi orang awam, bahkan sulit diterima oleh akal manusia, namun ini merupakan karunia Allah SWT terhadap para wali untuk memperlihatkan keramatnya sebagai bukti dan pertanda bahwa beliau adalah seorang Waliullah Ta’ala. Karena kelebihan itulah sering dikatakan orang “ Wali “ atau keramat yang disertakan orang dengan ilmu ma’rifatnya. Dengan demikian seorang / para Waliullah dengan keramatnya dan para Rasul serta Nabi dengan Mukjijatnya yang setiap orang berhak mengimaninya dan membenarkan para Wali dan Para Nabi.
Tentang hubungan Datuk Samada alias Datu Insad dengan Pangeran Suriansyah diceritakan bahwa Datu Insad telah membantu kerajaan dan diangkat sebagai pengatur surat kerajaan ke daerah – daerah pantai laut, seperti Tabanio dan biasanya beliau berangkat pagi – pagi sekali dengan jalan cepat atau kecepatan tinggi, sehingga beliau sore hari sudah berada kembali di Kayu Tangi ( Kerajaan ).
Namun suatu ketika Datu Insad menderita suatu penyakit, yakni penyakit kurap, akhirnya beliau memutuskan untuk meminta izin kepada guru beliau Khatib Dayan dan Pangeran Suriansyah meninggalkan Istana guna melakukan penyembuhan sekaligus untuk memperdalam ilmu beliau ditempat-tempat yang tenang, Beliau tinggalkan Istana menuju ke daerah Padang Purun sambil terus berkhalawat untuk kesembuhan penyakit beliau.
Akhirnya penyakit yang beliau derita sembuh, hal ini tak terlepas dari berkat ilmu beliau menetapkan pegangan tentang diri dan rahasia ilmu atas keyakinan yang sempurna dengan harapan kesembuhan terhadap penyakitnya. Dari kejadian itu hingga masyhurlah sebutan dengan “Datu Insad” artinya “ melebur diri kepada insan yang asli ”, yang mengandung rahasia kesempurnaan hidup.
Perjalanan hidup Datu Insad semula mengembara di daerah danau bamban di desa Martadah, mencari nafkah dengan berkebun dan mencari ikan. Keluarga terdekat beliau adalah sepupu beliau bernama Datuk Maulana Abdullah Puling, yang bermakam di Pilung di Desa Martadah. Keduanya mempunyai keramat atau kelebihan masing – masing.
Banyak cerita – cerita menarik tentang beliau, beliau memiliki keistimewaan ( memiliki kekuatan gaib ) seperti tahan api, dapat menyusun telur satu – satu tinggi keatas, dapat menyeberang laut dan dapat bersembunyi dalam perut orang lain. Beliau juga mempunyai hobbi memulut burung sambil mengembangkan agama. Namun tidak pernah membawa burung setelah memulut. Dalam memulut beliau biasanya membawa bekal ketupat, wajik dan cingkaruk. Karenanya sampai saat ini di daerah desa Asahan terdapat sebuah ketupat yang dinamai Munggu ketupat.
Yang paling menarik adalah cerita tentang kedatangan seorang ulama dari Demak bernama Datuk Samadi. Menurut cerita Datuk Samadi adalah seorang ahli dalam ilmu ma’rifat. Beliau datang dengan niat untuk bertemu dengan Datu Insad, begitu tingginya ilmu beliau sehingga untuk menyeberangi laut jawa beliau hanya menggunakan kulit semangka sebagai perahu. Akhirnya Datuk Samadi berangkat menuju Sambangan dengan petunjuk seorang nelayan.
Nampaknya ditempat ini terjadi adu kekuatan, begitu tiba dihalaman kediaman Datuk Samada alias Datu Insad, Datuk Samadi lalu memberi salam yang mendapat jawaban dari Datu Insad. Saat itu Datuk Samadi melihat sebuah kapak yang segera diambil dan dilemparkan kearah Datu Insad, Datu Insad segera mengambil kayu dan melemparkannya kearah kapak tersebut. Kapak itupun membelah kayu itu dengan sendirinya. Kemudian Datuk Samadi mengambil sebuah halu ( alu ) dan melontarkan halu tersebut kearah Dati Insad, dengan gerak cepat Datuk Insad mengambil Lesung dan dilontarkan kea rah Datuk Samadi maka terjadi halu menumbuk lesung dengan suara bertalu – talu. Datuk Samadi masih belum merasa puas, ia masih ingin mencoba ilmu yang di miliki Datu Insad, kemudian Datuk Samadi minta kepada Datu Insad “ basambunyian “.
Kata Datu Insad “ bersembunyilah engkau wahai Datuk Samadi, aku akan mencari engkau “. Menurut cerita Datuk Samadi bersembunyi di Pahatan tiang, namun berhasil ditemukan kemudian Datuk Samadi bersembunyi menyusupkan diri diatap daun rumah itupun berhasil ditemukan Datu Insad, persembunyian ketiga yakni dilubang puputan api juga dapat ditemukan Datu Insad.
Setelah itu Datuk Samada alias Datu Insad berkata “ cukup sudah tiga kali engkau menguji kini giliranku untuk bersembunyi. Apabila engkau dapat mencari tempat persembunyianku dan dapat menemukan diriku aku rela menjadikan engkau sebagai guruku, tetapi apabila engkau tidak berhasil berarti ilmu Ma’rifatku lebih tinggi dari padamu.
Datu Insad akhirnya bersembunyi, Datuk Samadi mencari dan terus mencari Dati Insad namun tidak berhasil menemukan, saking bosannya mencari akhirnya Datuk Samadi berteriak “ Hai Datu Insad dimana engkau ? ‘’ Datu Insad menjawab “ Aku berada dalam perutmu “, kemudian Datu Insad keluar dan ketika itu pula Datuk Samadi mengangkat Datu Insad sebagai guru dan merelakan diri sebagai Khadam hingga ke akhir hayat.
Seperti juga Makam Keramat di Pulau Datu maupun Keramat Istana, Makam Datu Insad juga termasuk Keramat berpindah, jelas bukan dipindahkan tetapi berpindah karena karomah.
            Bahkan masyarakat mempercayai bahwa dengan izin Allah berziarah ke makam Datu Insad dapat mengabulkan hajad mereka, seperti jodoh, lulus ujian sekolah, bisnis dll.
(dari berbagai sumber)

Wednesday, 19 October 2016

HAJI BOEJASIN PAHLAWAN MUDA PENAKLUK FORT TABANIOW



Haji Boejasin adalah salah seorang pahlawan yang berjuang pada masa kerajaan Banjar. Beliau berjuang bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Beliau terkenal sebagai pahlawan muda yang dijuluki oleh pihak Belanda sebagai “Berandal Licin” , karena pergerakan beliau yang sangat susah ditebak dan beliau pada saat melakukan penyerangan suka membakar tangsi-tangsi Belanda.

Nama lengkap beliau adalah Haji Muhammad Jasin. lahir di daerah Subuhur (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) pada tahun 1837. Nama aslinya Muhammad Yasin. Masa kecil dan remaja dilalui dengan belajar agama dan taat beribadah. Muhammad Yasin berangkat haji dalam usia muda, dan karena itulah, pada waktu berjuang namanya disebut Haji Buyasin. Sementara orang mengatakan bahwa dia juga penghulu, ahli agama, jadi untuk sezamannya prestasinya cukup menonjol. Karena masih muda, sudah naik haji, tahu ilmu agama, dan berasal dari keluarga kaya (sebab tidak mungkin haji kalau tidak kaya).Ketika ia muncul dalam barisan perjuangan bersama Demang Lehman dan Pangeran Antasari, ia baru berusia kira-kira 20 tahun. Jadi nyatanya ia masih muda sekali. Tetapi Demang Lehman telah melihat adanya sifat-sifat kepahlawanan yang dimiliki oleh Haji Boejasin yang masih sangat muda itu.

Haji Boejasin sebagai pemimpin perlawanan di daerah Tanah Laut ini mempunyai pengikut yang cukup banyak dan teratur. Keistimewaan Haji Boejasin adalah dalam setiap pertarungan melawan Belanda, ia tidak membiarkan anak buahnya saja yang maju ke depan, tetapi malah ia sendiri yang berjuang paling depan.

Pada suatu hari beliau pernah menyusup ke dalam markas Belanda di Martapura. Di sana ia mengamuk dan banyak membunuh musuh-musuhnya, kemudian berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda. Selanjutnya ia bertempur pula di Cempaka, Sungai Paring, Gunung Landak dan Tabanio.

Haji Boejasin Mempunyai benteng yang cukup ampuh di suatu tempat yang bernama Telaga, letaknya antara Sabuhur dan Batu Tungku. Pada tanggal 27 Juli1859, benteng Telaga ini pernah dikepung oleh Belanda dengan kekuatan yang besar. Tetapi sayangnya disekitar benteng itu telah dipasang jebakan, ketika pasukan Belanda mulai beraksi maka jadilah mereka umpan yang empuk bagi jebakan-jebakan yang mematikan tadi.

Peristiwa “Benteng Tabanio” (Baca juga Benteng Tabanio) dalam bulan Agustus 1859 juga membuktikan keberaniannya. Benteng Tabanio yang diduduki Belanda berhasil direbut olehnya bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Ketika Belanda datang kembali dengan bantuan kapal perang Bone untuk merebut Benteng tabanio, Haji Boejasin melawannya dengan gigih juga, sehingga serangan yang kedua oleh Belanda ini juga Gagal. Empat bulan kemudaian tepatnya pada bulan Desember 1859 Benteng Haji Buyasin di Takisung diserang secara besar – besaran dan dapat di hancurkan. Haji Buyasin menyingkir ke daerah Pleihari yang akhirnya sampai ke daerah Bati – Bati,

Pertempuran-pertempuran selanjutnya sejak tahun 1860-1864 terus-menerus terjadi di Pelaihari, Bati-bati, Tabanio, Satui, Maluka, Tambak Linik, Salingsing, Liang Anggang, Awang Bangkal, Tiwingan dll. Haji Boejasin melakukan taktik gerilya, yaitu menyerang secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Bahkan karena saking sulitnya Belanda menangkap Haji bujasin, sampai-sampai Belanda mengeluarkan sayembara dengan harga kepal Hadjie bujasin sebesar f. 1.000,- (Staat Der Opstandelingen Op Wien Premien Of Hoofdgelden Zijn Gesteld (Daftar Nama Pemberontak Yang Dikenai Premi atau Harga Kepala)

Peristiwa bulan Mei 1864 yang terjadi di Tambak Linik dan Salingsing (pedalaman Bati-bati) dialami bersama istri dan 9 orang pengikutnya. Mereka terkurung dalam kepungam musuh selama 10 hari lamanya, sampai-sampai mereka kehabisan bekal makanan, pada saat itu mereka hanya makan umbut-umbut muda dan buah-buahan hutan. Musuh telah menjepit mereka di Pelaihari, Martapura dan Banyu Hirang dengan115 orang serdadu, dan ditambah lagi pasukan pengkhianat yang membela Belanda daripada rakyat kurang lebih 50 orang. Namun berkat ketabahan, keuletan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa akhirnya mereka dapat meloloskan diri dari pihak musuh. Akan tetapi pada saat mereka sampai di rumah mereka di Sabuhur, mereka telah mendapati rumah mereka yang hangus dibakar Belanda. Tetapi hal ini tidak menyustkan semangatnya untuk terus berjuang dan berjuang.

Setelah kejadian itu menyusul kejadian di Asam-asam dan Batu Tungku. Di sini Haji Boejasin berhadapan dengan pasukan Bugis dari Pagatan (Kalimantan tenggara). Mereka itu adalah kaum yang memihak dan dibantu olah Belanda. Namun kali inipun Haji Boejasin berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Bahkan ketika pertempuran Pematang Damar, November 1865 pundaknya yang penuh darah karena peluru yang menembusnya, Haji Boejasin masih dapat meloloskan diri dan bertempur kembali di Gunung Anjal.

Perlawanannnya yang terakhir adalah ketika ia menjelajah ke Tanah Dusun sungai Lintuni di Kal-Teng, ia bertemu Pembakal Bonang yang telah lama mencarinya. Pelurupun menembus kulit tubuhnya, darahpun tumpah di Bumi Pertiwi dan saat itulah ia menghembuskan nafas terakhirnya. Peristiwa ini terjadi pada 26 January 1866. Haji Buyasin gugur sebagai pahlawan dan sekaligus mujahid. meninggal dalam usia muda, 29 tahun. Jenazah Haji Buyasin yang pernah menguasai dan memimpin Benteng Tabanio di serahkan kepada Belanda di Banjarmasin oleh Pangeran Nata Bupati Martapura. Kemudian oleh masyarakat di makamkan di lokasi makam Mesjid Jami Lama di tepi Sungai Martapura, Pasar Lama.

Bidang PSK ( Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan : sekarang ) telah melakukan Survei di lokasi ini, tetapi tidak menemukan Makam Haji Buyasin di antara makam – makam yang ada. Mungkin hal ini di sebabkan adanya kerusakan tanah akibat erosi Sungai Martapura. Lokasi makam – makam di tempat ini mengalami perubahan yaitu menyempit banyak makam – makam yang runtuh dan hilang yang semula berada di tanah sekarang lenyap ke tengah sungai martapura. Mesjid Jami sendiri telah lama di pindahkan lebih ke tengah yang sekarang ini berada di pinggir jalan Mesjid. Kelurahan Mesjid Jami / Surgi Mufti Kecamatan Banjar Utara Banjarmasin ( Dahulu lebih di kenal dengan Kampung Masigit ).

(dirangkum dari ebrbagai sumber)




HAJI BOEJASIN PAHLAWAN MUDA PENAKLUK FORT TABANIOW



Haji Boejasin adalah salah seorang pahlawan yang berjuang pada masa kerajaan Banjar. Beliau berjuang bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Beliau terkenal sebagai pahlawan muda yang dijuluki oleh pihak Belanda sebagai “Berandal Licin” , karena pergerakan beliau yang sangat susah ditebak dan beliau pada saat melakukan penyerangan suka membakar tangsi-tangsi Belanda.

Nama lengkap beliau adalah Haji Muhammad Jasin. lahir di daerah Subuhur (Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) pada tahun 1837. Nama aslinya Muhammad Yasin. Masa kecil dan remaja dilalui dengan belajar agama dan taat beribadah. Muhammad Yasin berangkat haji dalam usia muda, dan karena itulah, pada waktu berjuang namanya disebut Haji Buyasin. Sementara orang mengatakan bahwa dia juga penghulu, ahli agama, jadi untuk sezamannya prestasinya cukup menonjol. Karena masih muda, sudah naik haji, tahu ilmu agama, dan berasal dari keluarga kaya (sebab tidak mungkin haji kalau tidak kaya).Ketika ia muncul dalam barisan perjuangan bersama Demang Lehman dan Pangeran Antasari, ia baru berusia kira-kira 20 tahun. Jadi nyatanya ia masih muda sekali. Tetapi Demang Lehman telah melihat adanya sifat-sifat kepahlawanan yang dimiliki oleh Haji Boejasin yang masih sangat muda itu.

Haji Boejasin sebagai pemimpin perlawanan di daerah Tanah Laut ini mempunyai pengikut yang cukup banyak dan teratur. Keistimewaan Haji Boejasin adalah dalam setiap pertarungan melawan Belanda, ia tidak membiarkan anak buahnya saja yang maju ke depan, tetapi malah ia sendiri yang berjuang paling depan.

Pada suatu hari beliau pernah menyusup ke dalam markas Belanda di Martapura. Di sana ia mengamuk dan banyak membunuh musuh-musuhnya, kemudian berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda. Selanjutnya ia bertempur pula di Cempaka, Sungai Paring, Gunung Landak dan Tabanio.

Haji Boejasin Mempunyai benteng yang cukup ampuh di suatu tempat yang bernama Telaga, letaknya antara Sabuhur dan Batu Tungku. Pada tanggal 27 Juli1859, benteng Telaga ini pernah dikepung oleh Belanda dengan kekuatan yang besar. Tetapi sayangnya disekitar benteng itu telah dipasang jebakan, ketika pasukan Belanda mulai beraksi maka jadilah mereka umpan yang empuk bagi jebakan-jebakan yang mematikan tadi.

Peristiwa “Benteng Tabanio” (Baca juga Benteng Tabanio) dalam bulan Agustus 1859 juga membuktikan keberaniannya. Benteng Tabanio yang diduduki Belanda berhasil direbut olehnya bersama Demang Lehman dan Kiai Langlang Buana. Ketika Belanda datang kembali dengan bantuan kapal perang Bone untuk merebut Benteng tabanio, Haji Boejasin melawannya dengan gigih juga, sehingga serangan yang kedua oleh Belanda ini juga Gagal. Empat bulan kemudaian tepatnya pada bulan Desember 1859 Benteng Haji Buyasin di Takisung diserang secara besar – besaran dan dapat di hancurkan. Haji Buyasin menyingkir ke daerah Pleihari yang akhirnya sampai ke daerah Bati – Bati,

Pertempuran-pertempuran selanjutnya sejak tahun 1860-1864 terus-menerus terjadi di Pelaihari, Bati-bati, Tabanio, Satui, Maluka, Tambak Linik, Salingsing, Liang Anggang, Awang Bangkal, Tiwingan dll. Haji Boejasin melakukan taktik gerilya, yaitu menyerang secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Bahkan karena saking sulitnya Belanda menangkap Haji bujasin, sampai-sampai Belanda mengeluarkan sayembara dengan harga kepal Hadjie bujasin sebesar f. 1.000,- (Staat Der Opstandelingen Op Wien Premien Of Hoofdgelden Zijn Gesteld (Daftar Nama Pemberontak Yang Dikenai Premi atau Harga Kepala)

Peristiwa bulan Mei 1864 yang terjadi di Tambak Linik dan Salingsing (pedalaman Bati-bati) dialami bersama istri dan 9 orang pengikutnya. Mereka terkurung dalam kepungam musuh selama 10 hari lamanya, sampai-sampai mereka kehabisan bekal makanan, pada saat itu mereka hanya makan umbut-umbut muda dan buah-buahan hutan. Musuh telah menjepit mereka di Pelaihari, Martapura dan Banyu Hirang dengan115 orang serdadu, dan ditambah lagi pasukan pengkhianat yang membela Belanda daripada rakyat kurang lebih 50 orang. Namun berkat ketabahan, keuletan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa akhirnya mereka dapat meloloskan diri dari pihak musuh. Akan tetapi pada saat mereka sampai di rumah mereka di Sabuhur, mereka telah mendapati rumah mereka yang hangus dibakar Belanda. Tetapi hal ini tidak menyustkan semangatnya untuk terus berjuang dan berjuang.

Setelah kejadian itu menyusul kejadian di Asam-asam dan Batu Tungku. Di sini Haji Boejasin berhadapan dengan pasukan Bugis dari Pagatan (Kalimantan tenggara). Mereka itu adalah kaum yang memihak dan dibantu olah Belanda. Namun kali inipun Haji Boejasin berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Bahkan ketika pertempuran Pematang Damar, November 1865 pundaknya yang penuh darah karena peluru yang menembusnya, Haji Boejasin masih dapat meloloskan diri dan bertempur kembali di Gunung Anjal.

Perlawanannnya yang terakhir adalah ketika ia menjelajah ke Tanah Dusun sungai Lintuni di Kal-Teng, ia bertemu Pembakal Bonang yang telah lama mencarinya. Pelurupun menembus kulit tubuhnya, darahpun tumpah di Bumi Pertiwi dan saat itulah ia menghembuskan nafas terakhirnya. Peristiwa ini terjadi pada 26 January 1866. Haji Buyasin gugur sebagai pahlawan dan sekaligus mujahid. meninggal dalam usia muda, 29 tahun. Jenazah Haji Buyasin yang pernah menguasai dan memimpin Benteng Tabanio di serahkan kepada Belanda di Banjarmasin oleh Pangeran Nata Bupati Martapura. Kemudian oleh masyarakat di makamkan di lokasi makam Mesjid Jami Lama di tepi Sungai Martapura, Pasar Lama.

Bidang PSK ( Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan : sekarang ) telah melakukan Survei di lokasi ini, tetapi tidak menemukan Makam Haji Buyasin di antara makam – makam yang ada. Mungkin hal ini di sebabkan adanya kerusakan tanah akibat erosi Sungai Martapura. Lokasi makam – makam di tempat ini mengalami perubahan yaitu menyempit banyak makam – makam yang runtuh dan hilang yang semula berada di tanah sekarang lenyap ke tengah sungai martapura. Mesjid Jami sendiri telah lama di pindahkan lebih ke tengah yang sekarang ini berada di pinggir jalan Mesjid. Kelurahan Mesjid Jami / Surgi Mufti Kecamatan Banjar Utara Banjarmasin ( Dahulu lebih di kenal dengan Kampung Masigit ).

(dirangkum dari ebrbagai sumber)




Saturday, 15 October 2016

PANGERAN DATU AHMAD "KERAMAT ISTANA "





Makam keramat Istana terletak di Kelurahan Karang Taruna, sekitar 7 Km sebelah selatan Kota Pelaihari Ibukota Kabupaten Tanah Laut.

Sebelum di pugar pada Tahun 1997 keadaan Makam tersebut boleh dikatakan sangat sederhana sekali, hampir tidak berbeda dengan makam – makam kebanyakan yang kurang terurus, walaupun sejak tahun delapan puluhan sudah ditetapkan sebagai Situs Bangunan Cagar Budaya Oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Perlindungan dan pembinaan Sejarah kepurbakalaan.

Siapa Pangeran Ahmad ?

Pangeran Ahmad yang sewaktu masih kecil bernama Gusti kacil, Beliau Adalah Putera seorang Raja Banjar yang memerintah di Keraton Martapura anatara Tahun 1778 – 1785. Kapan beliau dilahirkan masih belum jelas. Yang pasti ketika sang ayah Sultan Aminullah yang lebih di kenal dengan Nama Sultan Tahmidillah I Mangkat, Pangeran Ahmad dan kedua saudaranya Pangeran Abdullah dan Pangeran Muhammad Amir masih belum dewasa. Justru itu ketika Sultan Tahmidillah I mangkat, pimpinan Kerajaan untuk sementara di serahkan kepada ipar beliau yakni Pangeran Wiranata yang biasa di panggil dengan Pangeran Nata.

Akan tetapi perkembangan selanjutnya ternyata menjadi lain, sebab walaupun ketiga putera mahkota sudah dewasa sang Paman nampaknya seperti tidak rela menyerahkan takhta kepada mereka yang berhak.

Suatu ketika istana kerajaan menjadi gempar, karena Pangeran Abdullah meninggal dunia secara mendadak, karena termakan racun, sama dengan yang di alami Sultan Tahmidillah I (ayahnya) akhirnya terkuak. Bahwa semua ini adalah ulah Pangeran Nata yang sudah lama merencanakan untuk mengambil alih pimpinan kerajaan. Mula – mula Sultan Tahmidillah di racun, kemudian Pangeran Abdullah (menantunya sendiri) karena di ketahuinya Pangeran Abdullah adalah bakal Sultan, (Berdasarkan surat wasiat pangeran / Sultan Tahmidillah I )

Sebagai akibat dari tewasnya Pangeran Abdullah, baik Pangeran Ahmad maupun Pangeran Amir sudah tidak merasa aman lagi tinggal di istana. Keduanya kemudian secara diam – diam meninggalkan istana. Pangeran Ahmad yang berwatak lembut, penyayang, melarikan diri kedaerah Tanah Laut (Pelaihari), sementara Pangeran Muhammad Amir yang berwatak keras menuju Pasir (Tanah Gerogot ) mencari bantuan untuk menyerang sang paman.

Usaha Pangeran Muhammad Amir untuk mencari bantuan mendapatkan hasil yang baik, tidak kurang dari 3000 orang anak buah Arung Trawe semuanya dari Suku Bugis menyatakan kesediaannya menyerang martapura.

Menurut sejarah, pasukan Pangeran Muhammad Amir ini mendarat di Tabanio, terus menuju Martapura. Namun pasukan ini gagal total, karena sang paman ternyata sudah mengantisipasinya dengan meminta bantuan kepada pihak Belanda. Selain berhasil di pukul mundur, Pangeran Muhammad Amir juga berhasil di tangkap dan pada tanggal 14 Mei 1789 Pangeran Muhammad Amir di buang ke Ceylon ( Srilanka ) dan meninggal di pembuangan. Akan halnya Pangeran Ahmad, beliau hidup di daerah Pelaihari sebagai pemimpin rakyat, mengayomi masyarakat dan ( sebenarnya ) sudah melupakan Keraton Martapura ( keinginan menjadi Sultan ).

Sebaliknya Pangeran Wiranata yang sudah mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II masih diliputi perasaan was – was. Oleh karena itu dikirimnya pasukan ke Pelaihari untuk menangkap Pangeran Ahmad. Usaha ini berhasil dengan baik, Pangeran Ahmad akhirnya tertangkap di Gunung Layang – Layang dekat Gunung Matah. Leher beliau dipenggal dan kepala beliau di bawa ke Martapura di serahkan kepada Sultan, sementara badan beliau di kubur / di makamkan disekitar Gunung Layang – layang tersebut. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1808.

Menurut cerita, ketika Pangeran Ahmad berada di Pelaihari, beliau sering melakukan perjalanan kesekitar Gunung keramaian untuk menikmati pemandangan di sekitarnya, memandangi pohon – pohon besar dan hutan, serta melihat sungai yang banyak ikannya. Dengan penuh kebanggaan atas rahmat yang di berikan sang pencipta ( Allah SWT ).

Makam Pangeran Ahmad biasanya di ziarahi warga pada setiap hari kamis, di dekat makam terdapat sebuah sungai kecil, yang dahulunya berair jernih tempat ikan bermain. Menurut tetuha masyarakat Makam Pangeran Ahmad sudah empat atau lima kali berpindah. Awalnya dekat sungai terus naik kedarat.

Diperkirakan, sekitar makam dahulunya adalah sebuah perkampungan, yang di huni oleh banyak orang, karena di antara pendulang emas banyak yang menemukan benda – benda perhiasan sudah jadi, seperti : kalung, giwang, manik – manic, keris dan alat pembubutan.
Konon Makam Pangeran Ahmad tidak mau di beri Kelambu 
 
(dirangkum dari ebrbagai sumber)

DINAMIKA TAKISUNG & PANTAINYA DARI TAHUN KE TAHUN

Takisung  adalah sebuah  kecamatan  yang ada di Kabupaten  Tanah Laut , Provinsi  Kalimantan Selatan ,  Indonesia . Dari segi administ...