Monday, 30 March 2020

DINAMIKA TAKISUNG & PANTAINYA DARI TAHUN KE TAHUN


Takisung adalah sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan SelatanIndonesia. Dari segi administrasi pemerintahan, kecamatan Takisung terdiri dari 12 desa, dimana terdapat 169 RT dengan jumlah terbanyak berada di Desa Tabanio yang terbagi menjadi 22 RT dan juga ada berbagai macam suku seperti suku jawa, suku banjar, suku cina dan suku madura. Agamanya pun tidak hanya Islam tetapi juga ada sebagian kecil yang beragama Kristen.
Takisung adalah salah satu permukiman tertua di Tanah Laut, nama daerah ini sudah ada di dalam Hikayat Banjar yang ditulis pada masa Raja Banjar Islam ke-1 Sultan Suriansyah (1520-1546). Takisung jelas tertulis pada masa itu, yaitu hikayat hubungan Kerajaan banjar dan Kerajaan Sambas (Johannes Jacobus RasHikayat Banjarditerjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim).
Diceritakan pada Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan :
Sudah itu maka orang Sebangauorang Mendawaiorang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawaiorang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukanorang Paserorang Kutaiorang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.[10]
Selain itu
Maka Patih Balit itu kembali maka datang serta orang bantu itu. Maka orang yang takluk tatkala zaman maharaja Suryanata sampai ke zaman Maharaja Sukarama itu, seperti negeri Sambas dan negeri Batang Lawai dan negeri Sukadana dan Kota Waringin dan Pembuang dan Sampit, Mendawai dan Sebangau dan Biaju Besar dan orang Biaju Kecil dan orang negeri Karasikan dan Kutai dan Berau dan Paser dan Pamukan dan orang Laut-Pulau dan Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan Tambangan Laut dan orang Takisung dan Tabuniau, sekaliannya itu sudah sama datang serta senjata serta persembahnya. Sama suka hatinya merajakan Pangeran Samudera itu. Sekaliannya orang itu berhimpun di Banjar dengan orang Banjarmasih itu, kira-kira orang empat laksa. Serta orang dagang itu, seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Mangkasar, orang Jawa yang berdagang itu, sama lumpat menyerang itu. Banyak tiada tersebut.[10]

Bukti lain yang menyebutkan keberadaan takisung pada masa lampau adalah adanya perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan banjar pada tahun 1823. SSebagai salah satu pintu gerbang/tol perdagangan di Kalimantan Pihak Hindia Belanda menyebut wilayah di Tanah Laut dengan sebutan Landen Laut (negeri laut/darat laut/tanah laut) di Kalimantan. Sekitar tahun 1842 Tabanio menjadi salah satu pos utama Belanda sebagai bagian dari zuid en oostkust van borneo/wilayah Pantai Selatan dan Timur Borneo yang berpusat di Banjarmasin. Pos ini dipegang oleh J. F. Mallien.
Tahun 1843 Tabanio dijadikan Afdeeling Tabenio di bawah wilayah Pantai Selatan dan Timur Borneo. Afdeling ini dipegang oleh J. F. Mallien sebagai Posthouder der Landen Laut/Pemegang Pos Tanah Laut dengan Kiai Jaija Negara sebagai petinggi dari pribumi.
Melihat letak Takisung sangat dekat dengan Tabanio, maka dapat ditafsirkan bahwa takisung merupakan sebuah desa yang sudah ada sejak lama.
Dari sebuah sumber menyebutkan bahwa istilah Takisung sendiri berasal dari nama orang cina yang datang ke daerah tersebut. Orang cina yang didtangkan oleh kerajaan Banjar yang bernama Tan Kie Soeng. Sehingga dari nama itulah menjadi melekat nama sebuah tempat Takisung hingga sekarang.
Takisung Terletak pada  -114,603° – 114,697° BT  -3,72207° – 3,99539° LS, dengan batas  Utara  Kecamatan Kurau, Timur Kecamatan Pelaihari, Barat Laut Jawa, Selatan Kecamatan Panyipatan. Sedangkan  ketinggian dari permukaan laut 5 meter, dengan luas wilayah 343,00 km². Kecamatan Takisung memiliki 12 buah desa dan memiliki panjang pantai 30 Km, salah satunya adalah Pantai Takisung.
Pantai Takisung memiliki sarana dan prasarana antara lain: jalan yang beraspal menuju obyek wisata, wc umum, kamar mandi, areal parkir, pasar ada pedagang ikan dan buah-buahan, pedagang makanan, minuman dan pedagang cendera mata, panggung, shalter (tempat berteduh), restoran dan tempat bermain, spot selfi dll.
Luas areal wisata pantai Takisung sekitar 2 ha dengan tipologi pantai berpasir dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa dengan pasirnya yang berwarna coklat seperti air lautnya dengan pH airnya 9 yang tergolong basa dengan suhu 250 °C dan kecepatan aliran airnya sebesar 1927 rpm, sedangkan tingkat kecerahan airnya sebesar 32 cm.
Pada era tahun 1970an pantai takisung ini dalam pengelolaan oleh fihak swasta yaitu PT Junjung Buih. Konsesi pengelolaan selama 25 tahun. Pada masa itu pantai takisung sekelilingnya ditutup dengan pagar ulin, dan opada masa itu dapat dikatakan masa kejayaan pantai takisung, pada zaman itulah pantai takisung sangat dikenal sebagai obyek wisata yang ada dikalimantan selatan. Tetapi sejak masa konsesi habis pada tahun awal-awal 1990an pengelolaan diambil  tidak diperpanjang lagi tetapi langsung dikelola oleh Pemerintah kabupaten Tanah Laut. hingga sampai sekarang. Pada era 1990an seiring dengan dinamika pemerintahan serta dinamika masyarakat pantai takisung mengalami kemunduran ditambah lagi semakin tumbuhnya obyek-obyek wisata baru diberbagai tempat di Kalimantan selatan. Sejak tahun 2014 perlahan pantai takisung mulai dilakukan pembenahan dan penataan secara serius oleh pemerintah kabupaten tanah laut, sehingga hasilnya sekarang mulai Nampak perkembangan yang cukup positif, baik dari sisi penataan maupun perputran ekonomi serta kunjungan wisatanya. Untuk memudahkan dalam pengelolaannya Pantai Takisung sekarang ini oleh Pemerintah Kabupaten Tanah laut mendirikan sebuah Unit Pengelola Teknis Pantai Takisung yang menjadi kepanjangan tangan Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Laut. Sehingga dalam pengelolalaannya lebih efektif. Saat ini UPT pantai Takisung dikepalai seorang kepala UPT, dengan dibantu 8 (delapan) orang tenaga honor.



Saturday, 28 March 2020

MISTERI PERALATAN KUNO TAHUN 1763 DI PANTAI TAKISUNG



Pantai Takisung terletak sekitar 22 kilometer dari Kota Pelaihari (Ibu kota Tanah Laut) dan sekitar 87 kilometer dari Kota BanjarmasinWisata Pantai Takisung merupakan salah satu lokasi wisata andalan bagi Kabupaten Tanah Laut. Pantai Takisung berada di Desa TakisungKecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebagai sebuah destinasi wisata, Pantai Takisung memiliki  pesona dengan pemandangan pantai dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa dengan ciri khas pasirnya yang coklat seperti warna air lautnya (untuk identifikasi airnya, yaitu dari hasil observasi didapatkan pH airnya 9 yang tergolong basa dengan suhu 250 °C dan kecepatan aliran airnya sebesar 1927 rpm, sedangkan tingkat kecerahan airnya sebesar 32 cm), Dilengkapi dengan jajanan khas pantai, mulai dari ikan asin, hiasan kerang, udang, ikan, sampai terumbu karang langsung dari nelayan.
Ditengah-tengah posisi pantai disela-sela pasir yang berwarna coklat tersebut teronggok sebuah alat yang masih menyimpan misteri. Alat yang terbuat dari besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil 1763. Sampai tulisan ini dibuat masih belum ditemukan catatan tentang fungsi dan apa manfaat alat tersebut.
Kalau kita mencoba untuk menelusuri sejarah pada abad ke-17 Tabanio daerah terdekat dengan Takisung, merupakan sebuah kampung di sekitar sungai Tabanio di pantai selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan kawasan strategis dengan potensi ekonomi yang tinggi karena hasil lada, perikanan, dan tambang emas di daerah Pelaihari.
Belanda (VOC) pada masa itu sangat tertarik untuk menguasai Tabanio. Hal tersebut tertulis pada sebuah eprjanjian antara Belanda dengan kesultanan Banjar. Tanggal 6 Juli 1779 VOC membuat perjanjian dengan Sultan Banjar mengenai monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian tersebut termuat tentang pengaturan mengenai pembangunan benteng di Tabanio. Untuk merealisasikan perjanjian tersebut  Belanda (VOC) membangun sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di sekitar muara Sungai Tabanio. Masing-masing sudut benteng diperlengkapi dengan bastion yang berbangun bundar. Pintu gerbang menghadap ke laut. Tembok benteng terbilang cukup tinggi, yakni setinggi tubuh gapura. Pada 1791, seorang insinyur Belanda, C. F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah desain benteng yang cukup besar di lokasi tersebut, namun sepertinya tidak direalisasikan.
Kemudian Kalau kita coba amati sejarah nusantara pada tahun 1808, pada saat wilayah nusantara berada dibawah pendudukan Belanda (Perancis), seorang gubernur jenderal H.W Daendels mendapat tugas untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membangun jalan raya yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer hingga Panarukan. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (Groote Postweg). Kebijakan ini diambil atas dasar kondisi jalan di Pulau Jawa masih berupa jalan setapak dan sangat buruk pada musim hujan, sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama. Berbeda dengan kondisi jalan yang ada di Eropa berdasarkan pengalaman Daendels. Jalan yang dibangun tersebut beberapa ruas hanya dilakukan pemadatan dan pengerasan dengan pasir dan batu agar lebih kuat dan tidak berlumpur saat hujan, sehingga bisa dilintasi kereta kuda. Beberapa ruas lagi adalah jalur baru yang terkoneksi dengan jalan yang sudah ada, seperti dari wilayah Bogor menuju Bandung yang melintasi daerah pegunungan Megamendung dan Puncak. Akhirnya jalan ini berhasil diselesaikan sekitar tahun 1810 atau hanya dua tahun masa pembangunan.
Mengamati catatan sejarah tersebut dengan menghubungkan keberadaan benteng Tabanio sebagai pertahanan daerah pusat pemerintahan belanda di Tabanio sekaligus memperhatikan kebijakan deandles di kepulauan jawa maka dapat diasumsikan hubungan peralatan colonial yang ada dipantai takisung tersebut merupakan Light Petrol Roller sehingga ada sebuha kemungkinan yang cukup besar bahwa peralatan besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil 1763 tersebut digunakan sebagai alat untuk pembuatan jalan antara tabanio, takisung dan menuju kota pelaihari.
Namun asumsi ini kemungkinan akan masih dapat berkembang seiring dengan adanya bukti-bukti baru yang lebih valid, tetapi kita dapat menafsirkan bahwa pada saat keberadaan benteng di tabanio, pembangunan di daerah tabanio pada zaman itu sudah begitu pesat. Hal tersebut dimungkinkan karena tabanio tidak saja sebagai sebuah kota pelabuhan tetapi juga merupakan sebuah kota sebagai pusat pemerintahan pada zaman penjajahan Belanda.

Friday, 27 March 2020

FLU SPANYOL - KISAH KELAM INDONESIA (HINDIA BELANDA) 100 TAHUN YANG LALU



Pada akhir musim semi 1918, sebuah kantor berita di Spanyol mengabarkan sebuah wabah penyakit dengan karakter epidemi telah muncul di Spanyol. Kantor berita itu menyebutkan bahwa epidemi itu sifatnya ringan. Namun dua minggu berselang setelah laporan itu diterbitkan, wabah flu spanyol telah menginfeksi 100.000 orang.
Hari-hari berikutnya “epidemi ringan” itu telah berubah menjadi pandemi. Bahkan virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai The Mother Of All Pandemics.  Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.
Beberapa epidemiologis Amerika menyimpulkan, virus flu dibawa oleh buruh Tiongkok dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I (PD I). Alasan utamanya, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi. Namun argumen tersebut dibantah Dr. Edwin Jordan, editor dari Journal of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Tiongkok tidak menyebar dan berbahaya. Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang menyebutkan India atau Perancis sebagai asal dari virus mengingat virus flu di kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.
Pada awal kedatangannya di Indonesia, hanya sedikit orang yang berpikir bahwa Flu Spanyol itu berbahaya. Bahkan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Pandemi itu kemungkinan masuk melalui jalur laut, Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara. Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang MaetsuyckerSingkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.
Pada April 1918 konsul Belanda di Singapura bersurat kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tidak menerima kapal-kapal dari Hongkong berlabuh di Batavia. Sebelumnya, konsul Belanda di Singapura itu telah menerima peringatan dari otoritas Inggris di Hongkong. Hindia Belanda pun sebenarnya punya Peraturan Karantina yang tercantum di Staatblad van Nederlandsch Indie no. 277 tahun 1911. Aturan itu mengatur tentang prosedur karantina kapal dan pelabuhan—juga kota—untuk menekan persebaran wabah ketika terjadi epidemi. Sayangnya, peringatan itu tidak mendapat perhatian yang semestinya dari pemerintah kolonial. Maka itu protokol karantina juga tidak berjalan efektif. Kapal-kapal dari luar negeri tetap bebas berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. Begitu pun penumpangnya diperbolehkan masuk kota sebagaimana biasa. Akibatnya, Hindia Belanda mesti berhadapan dengan epidemi yang mematikan tiga bulan kemudian. “Pada bulan Juli 1918, beberapa pasien influenza mulai dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah ini semakin meningkat pada bulan Agustus dan September, meskipun rasio perbandingan dengan jumlah korban wabah-wabah lokal yang terjadi sebelumnya masih dianggap rendah
Beberapa suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes."
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.
Menurut BGD, gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes. Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini, kecil kemungkinan bisa bertahan.
Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.
Akibatnya dalam hitungan minggu, virus itu menyebar ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Selain Pulau Jawa, virus itu juga menjangkit Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut) sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di sekitarnya
Harian Sin Pao menyebutkan, 200 pekerja perkebunan di Jawa Barat terinfeksi pandemic sehingga tidak bisa bekerja. Hal itu membuat produksi kopi menjadi terhambat. Sementara itu di Padang, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah dihentikan karena mayoritas murid dan guru terinfeksi Flu Spanyol.
Karena keterbatasan fasilitas kesehatan, banyak pasien pula yang tidak bisa ditampung rumah sakit itu. Selain itu para dokter juga tak bisa berbuat banyak karena mayoritas dari mereka belum mengenal virus itu.
Bahkan menurut majalah Kolonial Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggung jawab terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, seorang dokter di Rembang mengatakan tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu selain amal baik seseorang.
Bahkan beberapa dokter memanfaatkan momentum itu dengan menaikkan tarif berobat. Mereka beralasan kenaikan tarif itu dilakukan agar tidak harus melayani banyak pasien.
Keterbatasan fasilitas kesehatan membuat makin banyak penderita Flu Spanyol yang tidak terawat. Pengobatan tradisional-pun nyatanya juga tidak banyak menolong. Di Pasuruan, mayat-mayat terpaksa ditelantarkan di pinggir jalan karena banyak penggali kubur yang tertular virus itu.
Akibat wabah yang mengerikan tersebut, banyak korban meninggal berjatuhan, November 1918, diperkirakan penduduk Indonesia yang meninggal karena Flu Spanyol berjumlah 402.163 jiwa. Namun sebenarnya tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban meninggal.
Menurut Collin Brown dalam buku The Influenza Pandemic 1918 in Indonesia, jumlah korban Flu Spanyol di Indonesia berjumlah 1,5 juta jiwa. Sementara itu Flu Spanyol menyebabkan presentase kematian di Jawa Tengah dan Jawa Timur naik dua kali lipat bahkan lebih.


sumber
detik.net, republika.co.id, historia.id, tirto.id

Wednesday, 25 March 2020

DAN BUMI-PUN PERLU ISTIRAHAT





Penggila Bola akhirnya hanya bisa menghela nafas, ditengah asyiknya mereka menikmati sajian kompetisi liga-liga Eropa seperti Liga Inggris, Liga Itali, Liga Spanyol, Bundesliga Jerman disisa kompetisi yang berjalan semuanya dihentikan tanpa batas waktu yang bisa diprediksi kapan akan bergulir lagi.
Gara-gara merebaknya sebuah virus, virus yang saat ini boleh dibilang sangat dahsyat, yang dapat dikatakan mampu menghentikan aktifitas orang-orang diseluruh dunia. Corona makhluk kecil yang mengakibatkan tidak hanya kompetisi bola yang tidak bisa dilanjutkan, bahkan semua aspek  kehidupan saat ini semuanya melambat.
Jauh sebelum wabah Covid-19 ini, beberapa dekade sebelumnya sudah beberapa kali muncul wabah yang mampu meluluhlantakkan sendi kehidupan, mampu memperlambat semua sendi kehidupan.
Black death  antara tahun 1347 dan 1351, wabah pes menyebar ke seluruh Eropa. Penyakit ini menewaskan sekitar 25 juta orang.  Pandemi ini kemudian dikenal sebagai Black Death. Wabah tersebut menjadi awal menurunnya perbudakan karena begitu banyak orang meninggal. Pada saat itu sejarah mencatat hampir seluruh aktifitas manusia terhenti.
Pandemi tahun 1720. Wabah ini diketahui berasal dari kapal dagang bernama Grand Saint Antoine yang saat itu mulai berlabuh di Marseille dari Levant.  Wabah penyakit PES yang disebabkan oleh infeksi bakteri yersinia pestis. Penyakit ini menular dari hewan kepada manusia lewat serangga. Penyakit tersebut merupakan bawaan dari beberapa negara di Eropa hingga akhirnya sampai di Marseille, Prancis, pada tahun 1720.
Pada tahun 1820 kolera telah menyebar ke Thailand, Indonesia yang menewaskan 100.000 orang di pulau Jawa saja, dan Filiphina. Tidak lama kemudian, penyakit ini juga tersebar ke seluruh Eropa. Tahun Kolera merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Vibrio Cholerae. Bakteri tersebut biasanya hidup di perairan asin dan hangat. Asal-usul penyakit ini berasal dari negara India
Pada tahun 1920 wabah influenza mematikan yang belum pernah diketahui sebelumnya. Menyerang Kanada pada tahun 1918-1920. Pandemi (penyakit yang menyebar secara serempak di suatu wilayah tertentu) penyakit itu telah menewaskan 55.000 orang di Kanada.
Pandemi ini juga dikenal sebagai sebagai virus H1N1. Virus yang mewabah pada tahun 1920 ini dianggap sebagai virus paling mematikan karena bisa dengan mudah merusak sistem imun. Virus tersebut diketahui telah menginfeksi 100 juta orang hingga ke Kutub Utara.
Covid-19, Virus ini pertama kali diidentifikasi di Wuhan, ibu kota provinsi Hubei China. Virus ini telah menunjukkan bukti penularan dari manusia ke manusia dan tingkat penularannya tampaknya meningkat pada pertengahan Januari 2020. Meskipun ada upaya dari pemerintah China dan lembaga lain untuk mengkarantina seluruh kota, tampaknya virus tersebut telah berhasil menyebar ke luar perbatasan Cina, dengan sejumlah penduduk negara lain mulai dari Eropa hingga Amerika didapati orang-orang yang suspect virus ini.
Kematian pertama yang dikonfirmasi disebabkan dari infeksi virus corona terjadi pada tanggal 9 Januari 2020 dan sejak itu sudah ada 214 kematian yang telah dikonfirmasi.
Asal mula keberadaan virus sudah terdeteksi sejak zaman Mesir Kuno, ketika Firaun Ramses meninggal dunia pada tahun 1196 SM karena sejenis penyakit yang saat ini di duga disebabkan oleh virus Smallpox. Sebelum itu, pada tahun sekitar 1400 SM, Memphis yang saat itu merupakan ibukota Mesir Kuno pernah terserang sejenis penyakit poliomyelitis yang juga di sebabkan oleh virus. Tapi karena minimnya pengetahuan di aman itu, kejadian-kejadian tersebut di abaikan begitu saja dan biasanya malah di anggap sebagai kutukan.
Lalu pada tahun 1000 SM, di Cina juga terjadi endemik yang di sebabkan oleh virus Smallpox. Namun penelitian baru di lakukan pada 1798 ketika Edward Jenner pertama kali menemukan vaksin. Tanpa tahu bahwa vaksin tersebut merupakan antibodi buatan untuk mencegah pertumbuhan virus. Pada tahun 1880, Louis Pasteur dan Robert Koch melalui suatu penelitian, mengemukakan  "germ theory" yaitu bahwa mikroorganisme merupakan penyebab penyakit. Tanpa tahu secara spesifik mikroorganisme seperti apa itu. Lalu pintu pengetahuan pun mulai terbuka ketika Adolf Mayer salah mengambil kesimpulan akan penyebab penyakit Mozaik pada tembakau.
Pada pemerintahan Justinianus I, kaisar kerajaan Bizantium abad ke-6, terjadi sebuah wabah pes yang dikenal sebagai wabah Justinian. Pandemi ini diperkirakan telah menewaskan antara 30 hingga 50 juta orang.  Wabah ini benar-benar terjadi, tetapi para peneliti masih mempelajari bukti terkait tingkat keparahannya sekitar 1.500 tahun yang lalu. Akibat penyakit tersebut, sebagian besar perdagangan terhenti dan kekaisaran melemah.
Apapun wabah pernah terjadi ternyata boleh dikatakan membuat sebagian besar manusia memperlambat aktifitas mereka atau bahkan menghentikan aktifitas mereka. Boleh jadi dengan melambatnya aktifitas manusia, dengan berhentinya aktifitas seperti berkurangnya kesibukan pesawat yang hilir mudik diudara, kesibukan transportasi dengan kepulan asap polusi yang dihamburkan, pergerakan manusia yang membuat bumi ini menjadi sibuk,  dengan adanya wabah virus ini semuanya melambat dan terhenti, pada masa inilah bumi tidur sejenak untuk beristirahat, atau ibaratkan sebuah mesin, bumi lagi turun mesin untuk memperbaiki dirinya, dan juga sembari memberikan kita ruang untuk berfikir dan berisitirahat. Mudah-mudahan seiring dengan meredanya wabah bumi akan kembali bergerak seperti sedia kala dengan tenaga yang baru.
(dari berbagai sumber)


Thursday, 20 June 2019

TANAH LAUT PERNAH MEMILIKI SEBUAH KERAJAAN KECIL



Sejak abad ke 6 Tanah Laut sebagai bagian wilayah perluasan peradaban Kerajaan Nan Sarunaikerajaan yang pada awalnya didirikan oleh suku Dayak Maanyan di daerah Amuntai, tahun 242 SM. Kerajaan ini bertahan selama lebih dari 1600 tahun hingga akhirnya runtuh diserang oleh Kerajaan Majapahit yang dipimpin Laksamana Nala sekitar tahun 1358, akibatnya masyarakat Dayak Maanyan pun terpaksa mengungsi ke pedalaman. Kemudian tahun 1360 Kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Kuripan sebagai bawahan di bekas wilayah Nan Sarunai.
Sekitar tahun 1387 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dalam kerajaan Negara Dipa yang didirikan Mpu Jatmika sebagai bawahan Majapahit. Negeri ini merupakan peleburan dari kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri, dengan pusat pemerintahannya terletak di Amuntai. Tahun 1478 Negara Dipa berubah menjadi Negara Daha.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1525 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dari Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudra sebagai rajanya. Tanah Laut menjadi salah satu wilayah teritorial Negara Agung kesultanan Banjar pada sekitar abad ke 15-17, terdiri dari Satui (sekarang wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), Tabanio (sekarang masuk kecamatan Takisung Kab Tanah Laut, dan Maluka (sekarang sebuah desa di Kecamatan Kurau)
  VOC Belanda pada tahun 1602 di Kalimantan Selatan ditandai dengan mendirikan sebuah benteng pertahanan di sekitar muara Sungai Tabanio pada tahun 1789, terkait dengan perjanjian antara Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga dan VOC tanggal 6 Juli 1779, dimana VOC mendapatkan konsesi berupa monopoli atas perdagangan di Banjar serta berhak membangun sebuah benteng. Pemicu kehadiran VOC di Tanah Laut adalah potensi perkebunan lada dan perikanan di Tabanio serta tambang emas di Pelaihari, penguasaan terhadap rempah-rempah dan tambang batu bara yang ada di Banyu Irang.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran Belanda adalah Maluka, biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko, ditemukan di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitu pun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut dengan Molukko. Sementara itu, di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 Maluku disebut atau ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette dalam artikelnya, Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde(1906). J.P. Moquette (1906)
Masa keemasan VOC Belanda tidak berumur lama setelah Setelah invasi Britania Raya sukses , VOC Belanda akhirnya sempat meninggalkan tanah jajahannya, dan menyerahkan pengelolaannya kepada East Indian Company (IEC), maskapai perdagangan milik Kerajaan Inggris. . Sebagai penguasa di Nusantara, ditunjuk Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
Kedatangan bangsa Ingrgris tidak saja di pulau Jawa tetapi merambah ke pulau Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Selatan dengan ada Perjanjian pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah di antaranya adalah daerah ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Tak mengherankan, jika Alexander Hare akhirnya yang dikirim ke wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Banjar itu. Hare yang lahir di London, pada awal 1780-an ini ditugaskan khusus oleh Raffles untuk menjaga garis pantai Kalimantan agar tetap dalam kekuasaan Inggris. Begitupula, keputusan Serikat Batavia bahwa Kalimantan menjadi objek penelitian karena khazanah kekayaan alam dan budayanya untuk generasi Inggris ke depan.
Pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Rafflesmenunjuk Alexander Hare sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar. Ia mendapatkan sebagian wilayah Tanah Laut tepatnya di Maluka (Maluka, Liang Anggang, Kurau, Pulau Lampai, dan Pulau Sari) dari Sultan Banjar dan membangun markas di sana sebagai basis kolonial Inggris di Kalimantan Selatan. Wilayah-wilayah ini disebut-sebut sebagai daerah kaya dengan batubara dan emas. Namun dalam perkembangannya Hare justru menjadikan tempat itu sebagai rumah pribadinya, di mana ia menghabiskan banyak waktunya hanya bersama para haremnya, tanpa mengurus pemerintahan Inggris yang telah diwakilkan padanya.  Alexander Hare mendatangkan para buruh imigran penambang timah asal Pulau Bangka dan Belitung ke Tanah Banjar, termasuk Tanah Laut.
Hare kemudian mengakuisisi 1,400 mil persegi tanah dari Sultan Bandjermassin dan menetapkannya sebagai negara merdeka yang ia jalankan sebagai wilayah pribadi, dengan otonom penuh untuk mengendalikan daerah Maluka bahkan dengan mencetak uang sendiri versi DOIT MALUKA, dengan kondisi tersebut wilayah Maluka yang berada di Tanah Laut bak sebuah “kerajaan kecil” yang dikendalikan oleh Alexander Hare,   Dengan demikian dia bisa disebut Raja Putih pertama di Kalimantan, 30 tahun sebelum James Brooke mendirikan dinasti Raja Putih sendiri di Sarawak
Kehadiran Alexander Hare dalam sejarahnya, di pulau Kalimantan atau dulu lebih dikenal dengan nama Borneo, dalam sejarahnya pulau Kalimantan pernah mempunyai dua orang "Raja Putih" yang memerintah di koloninya masing-masing. Yang pertama adalah adalah Alexander Hare, seorang raja putih yang memerintah di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan koloni pribadinya yang bernama Maluka pada tahun 1812-1814, Sedangkan yang kedua Rajah Putih Brooke, yang memerintah Sarawak di Kalimantan Utara pada tahun 1841-1946.
Namun masa pemerintahan si “Raja Putih” Alexander Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya 2 (dua) tahun saja. Pada waktu setelah kejatuhan VOC, Belanda mulai "mengambil alih" sebagian daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dengan kejatuhan VOC maka berakhir pula kekuasaan Alexander Hare di Maluka, dan otomotis runtuhlah kerajaan kecil kerajaan Maluka di Tanah Laut.


Monday, 30 July 2018

RATIK WARA



Pada satu ketika tak sengaja saya membaca sebuah status di media social dengan huruf besar dan tebal “NAPADA UNDA NI RATIK WARA”. Sekilas memang tulisan itu hanya sebuah tulisan dari bahasa banjar, tetapi apabila kita maknai lebih dalam ternyata kata-kata tersebut adalah sebuah idiom yang mengandung arti yang sangat dalam.
Kalau kita runtut satu persatu dari kalimat tersebut, terdiri dari dua kata yaitu ratik dan wara. Ratik dalam terjemahan bahasa Indonesia artinya sampah sedangkan wara mengandung arti belaka atau hanya. Jadi kalau didefiniskan dari istilah RATIK WARA menjadi “hanya sebuah sampah saja”.
Menelisik lebih jauh jika diterapkan dalam kalimat kehidupan sosial bisa menjadi arti “bukan siapa-siapa” atau arti lain yang bernada rendah diri
Ada dua makna yang bisa diambil dari kalimat “saya bukan siapa-siapa”. Yang pertama, memberikan kesan ketidakpedulian terhadap masalah, konflik, atau topik yang sedang dibicarakan. Yang kedua, memberikan kesan bahwa pengaruh ucapan ataupun tindakan kita tidak berdampak besar atau tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Makna yang kedua biasanya lebih populer dipahami dibandingkan makna yang pertama. Makna yang pertama memiliki prasangka yang negatif dibandingkan yang kedua, (mungkin) karena itulah makna yang kedua bisa jadi lebih populer dibandingkan yang pertama.
Layaknya bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, bahasa Banjar yang banyak digunakan di wilayah Kalimantan Selatan, beberapa daerah di propinsi Kalimantan lainnya, Riau (terutama di Indragiri Hilir), bahkan Malaysia, juga memiliki ungkapan atau idiom, yang mana jika diartikan secara harfiah sangat jauh dan berbeda maknanya dari yang dimaksud, seperti halnya idiom atau ungkapan dari RATIK WARA.
Ratik wara sebuah ungkapan yang mengandung arti aku bukanlah siapa-siapa, aku yang tidak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi hal yang harus kita ingat  bahwa setiap kepedulian pada sesuatu harus disertai tindakan. Kita tidak bisa bersikap peduli dan berbicara “Saya bukan siapa-siapa” jika kita belum ada upaya untuk mengubah kondisi tersebut. Jika kita sudah berusaha tapi tidak ada respon yang memuaskan, bisa jadi kita memang bukan siapa-siapa, dan pantas jika kita berucap “NAPADA UNDA NI RATIK WARA”.

DINAMIKA TAKISUNG & PANTAINYA DARI TAHUN KE TAHUN

Takisung  adalah sebuah  kecamatan  yang ada di Kabupaten  Tanah Laut , Provinsi  Kalimantan Selatan ,  Indonesia . Dari segi administ...