Pantai Takisung terletak sekitar 22 kilometer dari
Kota Pelaihari (Ibu kota Tanah Laut) dan sekitar 87 kilometer
dari Kota Banjarmasin. Wisata Pantai
Takisung merupakan salah satu lokasi wisata andalan bagi Kabupaten Tanah Laut. Pantai
Takisung berada di Desa Takisung, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebagai sebuah destinasi wisata, Pantai Takisung
memiliki pesona dengan pemandangan
pantai dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa dengan ciri khas pasirnya yang
coklat seperti warna air lautnya (untuk identifikasi airnya, yaitu dari hasil
observasi didapatkan pH airnya 9 yang tergolong basa dengan suhu 250 °C
dan kecepatan aliran airnya sebesar 1927 rpm, sedangkan tingkat kecerahan
airnya sebesar 32 cm), Dilengkapi dengan jajanan khas pantai, mulai dari
ikan asin, hiasan kerang, udang, ikan, sampai terumbu karang langsung dari
nelayan.
Ditengah-tengah posisi pantai disela-sela pasir yang berwarna coklat
tersebut teronggok sebuah alat yang masih menyimpan misteri. Alat yang terbuat
dari besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil 1763. Sampai tulisan
ini dibuat masih belum ditemukan catatan tentang fungsi dan apa manfaat alat
tersebut.
Kalau kita mencoba untuk menelusuri sejarah pada abad
ke-17 Tabanio daerah terdekat dengan Takisung, merupakan sebuah kampung di
sekitar sungai Tabanio di pantai selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan kawasan strategis dengan
potensi ekonomi yang tinggi karena hasil lada, perikanan, dan tambang emas di
daerah Pelaihari.
Belanda (VOC) pada masa itu sangat tertarik untuk
menguasai Tabanio. Hal tersebut tertulis pada sebuah eprjanjian antara Belanda
dengan kesultanan Banjar. Tanggal 6 Juli 1779 VOC membuat perjanjian
dengan Sultan Banjar mengenai monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian
tersebut termuat tentang pengaturan mengenai pembangunan benteng di Tabanio. Untuk
merealisasikan perjanjian tersebut
Belanda (VOC) membangun sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak
beraturan di sekitar muara Sungai Tabanio. Masing-masing sudut benteng
diperlengkapi dengan bastion yang berbangun bundar. Pintu gerbang menghadap ke
laut. Tembok benteng terbilang cukup tinggi, yakni setinggi tubuh gapura. Pada
1791, seorang insinyur Belanda, C. F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah
desain benteng yang cukup besar di lokasi tersebut, namun sepertinya tidak direalisasikan.
Kemudian Kalau kita coba amati sejarah nusantara pada tahun 1808, pada
saat wilayah nusantara berada dibawah pendudukan Belanda (Perancis), seorang
gubernur jenderal H.W Daendels mendapat tugas untuk mempertahankan Pulau Jawa
dari serangan Inggris. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membangun jalan
raya yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer hingga Panarukan. Jalan ini
lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (Groote Postweg). Kebijakan
ini diambil atas dasar kondisi jalan di Pulau Jawa masih berupa jalan setapak
dan sangat buruk pada musim hujan, sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama.
Berbeda dengan kondisi jalan yang ada di Eropa berdasarkan pengalaman Daendels.
Jalan yang dibangun tersebut beberapa ruas hanya dilakukan pemadatan dan
pengerasan dengan pasir dan batu agar lebih kuat dan tidak berlumpur saat
hujan, sehingga bisa dilintasi kereta kuda. Beberapa ruas lagi adalah jalur
baru yang terkoneksi dengan jalan yang sudah ada, seperti dari wilayah Bogor
menuju Bandung yang melintasi daerah pegunungan Megamendung dan Puncak.
Akhirnya jalan ini berhasil diselesaikan sekitar tahun 1810 atau hanya dua
tahun masa pembangunan.
Mengamati catatan sejarah tersebut dengan menghubungkan keberadaan
benteng Tabanio sebagai pertahanan daerah pusat pemerintahan belanda di Tabanio
sekaligus memperhatikan kebijakan deandles di kepulauan jawa maka dapat
diasumsikan hubungan peralatan colonial yang ada dipantai takisung tersebut
merupakan Light Petrol Roller sehingga ada sebuha kemungkinan yang cukup besar
bahwa peralatan besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil
1763 tersebut digunakan sebagai alat untuk pembuatan jalan antara tabanio,
takisung dan menuju kota pelaihari.
Namun asumsi ini kemungkinan akan masih dapat berkembang seiring dengan
adanya bukti-bukti baru yang lebih valid, tetapi kita dapat menafsirkan bahwa
pada saat keberadaan benteng di tabanio, pembangunan di daerah tabanio pada
zaman itu sudah begitu pesat. Hal tersebut dimungkinkan karena tabanio tidak
saja sebagai sebuah kota pelabuhan tetapi juga merupakan sebuah kota sebagai
pusat pemerintahan pada zaman penjajahan Belanda.
No comments:
Post a Comment