Pada akhir musim semi
1918, sebuah kantor berita di Spanyol mengabarkan sebuah wabah penyakit dengan
karakter epidemi telah muncul di Spanyol. Kantor berita itu menyebutkan bahwa
epidemi itu sifatnya ringan. Namun dua minggu berselang setelah laporan itu
diterbitkan, wabah flu spanyol telah menginfeksi 100.000 orang.
Hari-hari berikutnya “epidemi ringan” itu telah berubah menjadi pandemi. Bahkan virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai The Mother Of All Pandemics. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.
Hari-hari berikutnya “epidemi ringan” itu telah berubah menjadi pandemi. Bahkan virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai The Mother Of All Pandemics. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.
Beberapa epidemiologis
Amerika menyimpulkan, virus flu dibawa oleh buruh Tiongkok dan Vietnam yang
dipekerjakan militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I (PD I). Alasan
utamanya, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi. Namun
argumen tersebut dibantah Dr. Edwin Jordan, editor dari Journal
of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Tiongkok
tidak menyebar dan berbahaya. Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang
menyebutkan India atau Perancis sebagai asal dari virus mengingat virus flu di
kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.
Pada awal kedatangannya
di Indonesia, hanya sedikit orang yang berpikir bahwa Flu Spanyol itu
berbahaya. Bahkan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol
tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Pandemi itu kemungkinan
masuk melalui jalur laut, Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini
pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan
menyebar lewat Sumatera Utara. Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah,
dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang
positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang
dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar
dari dari Probolinggo.
Pada
April 1918 konsul Belanda di Singapura bersurat kepada pemerintah kolonial
Hindia Belanda agar tidak menerima kapal-kapal dari Hongkong berlabuh di
Batavia. Sebelumnya, konsul Belanda di Singapura itu telah menerima peringatan
dari otoritas Inggris di Hongkong. Hindia Belanda pun sebenarnya punya
Peraturan Karantina yang tercantum di Staatblad van Nederlandsch Indie no. 277
tahun 1911. Aturan itu mengatur tentang prosedur karantina kapal dan
pelabuhan—juga kota—untuk menekan persebaran wabah ketika terjadi epidemi.
Sayangnya, peringatan itu tidak mendapat perhatian yang semestinya dari
pemerintah kolonial. Maka itu protokol karantina juga tidak berjalan efektif.
Kapal-kapal dari luar negeri tetap bebas berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Hindia
Belanda. Begitu pun penumpangnya diperbolehkan masuk kota sebagaimana biasa.
Akibatnya, Hindia Belanda mesti berhadapan dengan epidemi yang mematikan tiga
bulan kemudian. “Pada bulan Juli 1918, beberapa pasien influenza mulai
dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah ini semakin
meningkat pada bulan Agustus dan September, meskipun rasio perbandingan dengan
jumlah korban wabah-wabah lokal yang terjadi sebelumnya masih dianggap rendah
Beberapa
suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta,
misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan
bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya.
Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi
sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe
berbahaja seperti kolera atau pes."
Burgerlijken
Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat
salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya,
setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan
vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah
korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.
Menurut
BGD, gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat,
batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa
hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan,
muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes. Pada hari keempat atau kelima,
virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu
berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini,
kecil kemungkinan bisa bertahan.
Ketika virus itu mulai
menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak
memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan
mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih
terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes,
dan cacar.
Akibatnya dalam
hitungan minggu, virus itu menyebar ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah
(Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Selain Pulau
Jawa, virus itu juga menjangkit Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut) sebelum
mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di sekitarnya
Harian Sin Pao
menyebutkan, 200 pekerja perkebunan di Jawa Barat terinfeksi pandemic sehingga
tidak bisa bekerja. Hal itu membuat produksi kopi menjadi terhambat. Sementara
itu di Padang, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah dihentikan karena
mayoritas murid dan guru terinfeksi Flu Spanyol.
Karena keterbatasan
fasilitas kesehatan, banyak pasien pula yang tidak bisa ditampung rumah sakit
itu. Selain itu para dokter juga tak bisa berbuat banyak karena mayoritas dari
mereka belum mengenal virus itu.
Bahkan
menurut majalah Kolonial Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggung jawab
terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, seorang dokter di Rembang
mengatakan tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu selain amal baik
seseorang.
Bahkan
beberapa dokter memanfaatkan momentum itu dengan menaikkan tarif berobat.
Mereka beralasan kenaikan tarif itu dilakukan agar tidak harus melayani banyak
pasien.
Keterbatasan fasilitas
kesehatan membuat makin banyak penderita Flu Spanyol yang tidak terawat.
Pengobatan tradisional-pun nyatanya juga tidak banyak menolong. Di Pasuruan,
mayat-mayat terpaksa ditelantarkan di pinggir jalan karena banyak penggali
kubur yang tertular virus itu.
Akibat wabah yang mengerikan tersebut, banyak korban meninggal
berjatuhan, November 1918, diperkirakan penduduk Indonesia yang meninggal
karena Flu Spanyol berjumlah 402.163 jiwa. Namun sebenarnya tidak diketahui
secara pasti berapa jumlah korban meninggal.
Menurut Collin Brown dalam buku The Influenza Pandemic 1918 in
Indonesia, jumlah korban Flu Spanyol di Indonesia berjumlah 1,5
juta jiwa. Sementara itu Flu Spanyol menyebabkan presentase kematian di Jawa
Tengah dan Jawa Timur naik dua kali lipat bahkan lebih.
sumber
detik.net, republika.co.id, historia.id, tirto.id
No comments:
Post a Comment