Thursday, 10 July 2025

"DATU DAIM" SOSOK YANG MASIH BANYAK MENYIMPAN MISTERI

Datu Daim, selama ini dikenal oleh sebagian masyarakat pelaihari hanya nama sebuah jalan, yang berada tidak jauh dari Pasar Tuntung Pandang Pelaihari. Masih banyak masyarakat khususnya kota pelaihari belum mengetahui apa yang melatarbelakangi kenapa didaerah tersebut diberikan nama jalan Datu Daim, dan siapa sebenarnya sosok yang bernama Datu Daim tersebut.

Menurut sumber cerita, lisan salah seorang warga Pelaihari bahwa Datu Daim ini sebenarnya adalah salah seorang pejuang pada saat zaman penjajahan Belanda. Beliau hidup pada masa peperangan kerajaan Banjar, dan salah satu perwira di angkatan perang kesultanan banjar.

Perang Banjar berlangsung antara 1859 -1863. Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Arung Turawe, tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Srilangka

salah satu perwira yang berontak dan melarikan diri dari kerajaan Banjar setelah kekalutan tersebut adalah Datu Daim, beliau diburu dan dicari oleh pasukan Belanda, pelarian beliau akhirnya sampai di sebuah hutan didaerah pelaihari.

Hutan tersebut memiliki sebuah danau kecil/telaga yang pada saat itu dijaga oleh makhluk halus seperti jin, dedemit dsb, sehingga masyarakat yang mendiami hutan tidak mampu untuk memanfaatkan air di telaga tersebut. Akhirnya dengan ijin Allah beliau mampu menundukan para makhluk halus yang penjaga telaga, konon dalam perkelahian dengan para penunggu telaga itu beliau mampu berubah wujud menjadi seekor buaya besar yang berwarna putih. sehingga dengan adanya kejadian tersebut, masyarakat memberikan nama telaga menjadi TELAGA DAIM.

Keberadaan beliau kemudian diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda mengirimkan pasukan untuk menangkap DATU DAIM. Dalam kondisi terkepung oleh banyaknya pasukan Belanda, beliau bersembunyi di dalam sebuah sumur, disampingnya ada 2 (dua) buah pohon jambu mete (monyet) besar. Selama beberapa waktu pada akhirnya tempat persembunyian beliau diketahui oleh Belanda, tanpa belas kasihan pasukan Belanda menimbun sumur tersebut, tak lama berselang akhirnya beliau meninggal dan wafat disumur yang telah ditimbun oleh pasukan Belanda. Sumur tersebut sekarang telah menjadi makam beliau yang sekarang lokasinya telah menjadi komplek pemakaman umum di Gg Jambu.

Mudah-mudahan cerita ini dapat menginspirasi kita semua, dan sekaligus membuka lembaran lembaran yang masih banyak menyisakan misteri tentang siapa sosok DATU DAIM sesungguhnya.
Wallahu’alam bisawawab.

(dirangkum dari berbagai sumber)

TAYUK

Botol Tayuk zaman dulu
Minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan, apabila tidak terpenuhi oleh manusia, maka akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Minuman memiliki banyak fungsi, ada yang berfungsi sebagai alat pelepas dahaga, minuman sebagai salah satu cara untuk membantu proses penyembuhan, minuman sebagai penambah vitalitas, tetapi ada juga yang menggunakan minuman sebagai sebuah kesenangan.

Dahulu kebanyakan orang-orang hanya mengenal jenis minuman seperti susu, kopi dan teh, serta minuman sejenis arak, tetapi sekarang dengan teknologi yang semakin maju jenis-jenis minuman semakin bervariasi dan berkembang, bahkan dikemas dalam sebuah kemasan yang sangat menarik.

Berbicara mengenai jenis-jenis minuman tersebut diatas, salah satu minuman yang dari dahulu sudah sangat dikenal lama oleh manusia adalah minuman sejenis arak. Minuman jenis ini dilihat dari sudut kesehatan akan berdampak negative apabila digunakan tanpa aturan, apalagi dikonsumsi secara terus menerus. Tetapi ada sebagian masyarakat yang menggunakan minuman jenis arak ini sebagai obat dan juga sebagai alat bantu untuk melawan kondisi cuaca atau iklim disuatu tempat.

Di sebagian kalangan masyarakat Kalimantan Selatan ada yang mengenal Pelaihari (Kab. Tanah laut) sebagai sebuah tempat penghasil minuman jenis arak khas Pelaihari, yaitu minuman TAYUK. Minuman ini sangat khas dan hanya dapat ditemukan di daerah perkampungan cina parit Pelaihari. Tayuk memiliki aroma tersendiri dan memiliki bau yang sangat kuat. Dahulu orang-orang china yang datang ke perkampungan parit adalah para pekerja tambang, yang didatangkan dari negeri tiongkok, tayuk menjadi minuman yang sangat berguna bagi kelancaran pekerjaan mereka. Pada saat mereka menetap di perkampungan cina Parit, mereka menambang emas dengan system Tabangan (baca juga Kampung Cina Parit pelaihari). System ini banyak memanfaatkan penggunaan air, sehingga bagi setiap pekerja tambang apabila sudah selesai bekerja maka akan merasakan hawa yang sangat dingin, dan juga kulit tangan mereka mengkerut, sebagaimana umumnya apabila kita terlalu lama berada didalam air.

Untuk mengurangi rasa dingin dan menghilangkan kerut-kerut pada kulit mereka akibat dari lamanya mereka berendam didalam parit, maka para pekerja tambang meminum minuman yang mereka ramu sendiri, yang sekarang mereka sebut dengan TAYUK. Selain itu juga tayuk digunakan oleh mereka sebagai minuman pada saat merayakan hari-hari besar mereka.

Mencari pengertian tayuk ini agak sulit kita untuk menemukannnya, menelusuri isitlah dalam bahasa cina juga tidak ditemukan definisi dari tayuk ini sendiri. Tapi yang jelas tayuk ini adalah minuman yang dihasilkan dari berbagai ramuan nabati salah satunya dari akar ilalang, dicampur dengan hasil ramuan rendaman anak kijang atau rusa, serta bahan – bahan lain dari alam. Dari hasil pencampuran beragam ramuan tersebut pada saat itu akhirnya menghasilkan sebuah minuman yang multi fungsi, bisa dijadikan sebagai minum penghangat badan atau bisa juga sebagai obat gosok penghilang kerutan kulit, bahkan digunakan juga untuk obat gosok atau obat urut. Barangkali dari hasil pencampuran tersebut berakibat menghasilkan permentasi alkohol, sehingga apabila terlalu banyak meminum tayuk maka akan mengakibatkan si peminumnya menjadi hilang kesadaran. Biasanya orang-orang cina parit dahulu, setelah selesai bekerja ditambang mereka meminum tayuk dengan ditemani sepotong kue, yang biasa disebut kue keranjang.

Kue keranjang (ada yang menyebutnya kue ranjang) yang disebut juga sebagai Nian Gao (年糕) atau dalam dialek Hokkian Ti Kwe (甜棵), adalah kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula, serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket. Kue ini merupakan salah satu kue khas atau wajib disajikan pada saat perayaan tahun baru Imlek,

Pada awalnya kue ini dipercaya, ditujukan sebagai hidangan untuk menyenangkan dewa Tungku (竈君公 Cau  Kun Kong) agar membawa laporan yang menyenangkan kepada raja Surga (玉皇上帝 Giok Hong Siang Te).
Kue Keranjang
Selain itu, bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan dating. Di Cina terdapat kebiasaan saat tahun baru Imlek untuk terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum menyantap nasi sebagai suatu pengharapan agar dapat selalu beruntung dalam pekerjaannya sepanjang tahun. Kue keranjang inilah yang biasa digunakan di perkampungan cina parit pada awal-awal masa kedatangan mereka sebagai teman minum tayuk.

Tetapi sayangnya sekarang ini tayuk yang asli sudah sangat sulit ditemukan, tayuk yang benar-benar sesuai dengan racikan awal pada saat orang cina datang pertama kali ke perkampungan parit pelaihari. Minuman ini yang dahulu hanya dikonsumsi terbatas oleh mereka saja tetapi, sekarang sudah dikonsumsi bukan saja dari orang-orang cina perkampungan parit, tetapi juga oleh orang-orang dari luar perkampungan tersebut. Seperti halnya penyalahgunaan Lem, Zenith (obat tulang), Sprite dicampur alkohol (Gaduk), maka begitu pula nasib tayuk dari perkampungan cina parit, banyak oknum yang menyalahgunakan tayuk dengan mengkonsumsinya secara berlebihan, sehingga dapat menghilangkan rasa kesadaran mereka (mabuk). Ditambah lagi ulah oknum yang mencampurkan alkohol pada saat proses pembuatan tayuk, dengan maksud agar kadar alkohol yang terkandung didalam minuman tayuk semakin tinggi, sehingga tayuk menjadi sebuah konsumsi yang digunakan sebagai alat untuk mabuk-mabukan

Akibat adanya pergeseran fungsi tayuk tersebut, dulunya tayuk dikonsumsi secara terbatas dan digunakan sebagai sebagai teman pada saat menunaikan sebuah pekerjaan, tetapi sekarang tayuk digunakan oleh oknum untuk menjadikannya sebagai sarana hiburan semata, sehingga nampaknya tayuk yang dulu bukanlah tayuk yang sekarang.
(dari berbagai sumber)

TANAH LAUT PERNAH MEMILIKI SEBUAH KERAJAAN KECIL



Sejak abad ke 6 Tanah Laut sebagai bagian wilayah perluasan peradaban Kerajaan Nan Sarunaikerajaan yang pada awalnya didirikan oleh suku Dayak Maanyan di daerah Amuntai, tahun 242 SM. Kerajaan ini bertahan selama lebih dari 1600 tahun hingga akhirnya runtuh diserang oleh Kerajaan Majapahit yang dipimpin Laksamana Nala sekitar tahun 1358, akibatnya masyarakat Dayak Maanyan pun terpaksa mengungsi ke pedalaman. Kemudian tahun 1360 Kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Kuripan sebagai bawahan di bekas wilayah Nan Sarunai.
Sekitar tahun 1387 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dalam kerajaan Negara Dipa yang didirikan Mpu Jatmika sebagai bawahan Majapahit. Negeri ini merupakan peleburan dari kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri, dengan pusat pemerintahannya terletak di Amuntai. Tahun 1478 Negara Dipa berubah menjadi Negara Daha.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1525 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dari Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudra sebagai rajanya. Tanah Laut menjadi salah satu wilayah teritorial Negara Agung kesultanan Banjar pada sekitar abad ke 15-17, terdiri dari Satui (sekarang wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), Tabanio (sekarang masuk kecamatan Takisung Kab Tanah Laut, dan Maluka (sekarang sebuah desa di Kecamatan Kurau)
  VOC Belanda pada tahun 1602 di Kalimantan Selatan ditandai dengan mendirikan sebuah benteng pertahanan di sekitar muara Sungai Tabanio pada tahun 1789, terkait dengan perjanjian antara Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga dan VOC tanggal 6 Juli 1779, dimana VOC mendapatkan konsesi berupa monopoli atas perdagangan di Banjar serta berhak membangun sebuah benteng. Pemicu kehadiran VOC di Tanah Laut adalah potensi perkebunan lada dan perikanan di Tabanio serta tambang emas di Pelaihari, penguasaan terhadap rempah-rempah dan tambang batu bara yang ada di Banyu Irang.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran Belanda adalah Maluka, biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko, ditemukan di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitu pun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut dengan Molukko. Sementara itu, di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 Maluku disebut atau ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette dalam artikelnya, Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde(1906). J.P. Moquette (1906)
Masa keemasan VOC Belanda tidak berumur lama setelah Setelah invasi Britania Raya sukses , VOC Belanda akhirnya sempat meninggalkan tanah jajahannya, dan menyerahkan pengelolaannya kepada East Indian Company (IEC), maskapai perdagangan milik Kerajaan Inggris. . Sebagai penguasa di Nusantara, ditunjuk Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
Kedatangan bangsa Ingrgris tidak saja di pulau Jawa tetapi merambah ke pulau Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Selatan dengan ada Perjanjian pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah di antaranya adalah daerah ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Tak mengherankan, jika Alexander Hare akhirnya yang dikirim ke wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Banjar itu. Hare yang lahir di London, pada awal 1780-an ini ditugaskan khusus oleh Raffles untuk menjaga garis pantai Kalimantan agar tetap dalam kekuasaan Inggris. Begitupula, keputusan Serikat Batavia bahwa Kalimantan menjadi objek penelitian karena khazanah kekayaan alam dan budayanya untuk generasi Inggris ke depan.
Pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Rafflesmenunjuk Alexander Hare sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar. Ia mendapatkan sebagian wilayah Tanah Laut tepatnya di Maluka (Maluka, Liang Anggang, Kurau, Pulau Lampai, dan Pulau Sari) dari Sultan Banjar dan membangun markas di sana sebagai basis kolonial Inggris di Kalimantan Selatan. Wilayah-wilayah ini disebut-sebut sebagai daerah kaya dengan batubara dan emas. Namun dalam perkembangannya Hare justru menjadikan tempat itu sebagai rumah pribadinya, di mana ia menghabiskan banyak waktunya hanya bersama para haremnya, tanpa mengurus pemerintahan Inggris yang telah diwakilkan padanya.  Alexander Hare mendatangkan para buruh imigran penambang timah asal Pulau Bangka dan Belitung ke Tanah Banjar, termasuk Tanah Laut.
Hare kemudian mengakuisisi 1,400 mil persegi tanah dari Sultan Bandjermassin dan menetapkannya sebagai negara merdeka yang ia jalankan sebagai wilayah pribadi, dengan otonom penuh untuk mengendalikan daerah Maluka bahkan dengan mencetak uang sendiri versi DOIT MALUKA, dengan kondisi tersebut wilayah Maluka yang berada di Tanah Laut bak sebuah “kerajaan kecil” yang dikendalikan oleh Alexander Hare,   Dengan demikian dia bisa disebut Raja Putih pertama di Kalimantan, 30 tahun sebelum James Brooke mendirikan dinasti Raja Putih sendiri di Sarawak
Kehadiran Alexander Hare dalam sejarahnya, di pulau Kalimantan atau dulu lebih dikenal dengan nama Borneo, dalam sejarahnya pulau Kalimantan pernah mempunyai dua orang "Raja Putih" yang memerintah di koloninya masing-masing. Yang pertama adalah adalah Alexander Hare, seorang raja putih yang memerintah di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan koloni pribadinya yang bernama Maluka pada tahun 1812-1814, Sedangkan yang kedua Rajah Putih Brooke, yang memerintah Sarawak di Kalimantan Utara pada tahun 1841-1946.
Namun masa pemerintahan si “Raja Putih” Alexander Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya 2 (dua) tahun saja. Pada waktu setelah kejatuhan VOC, Belanda mulai "mengambil alih" sebagian daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dengan kejatuhan VOC maka berakhir pula kekuasaan Alexander Hare di Maluka, dan otomotis runtuhlah kerajaan kecil kerajaan Maluka di Tanah Laut.


MISTERI PERALATAN KUNO TAHUN 1763 DI PANTAI TAKISUNG



Pantai Takisung terletak sekitar 22 kilometer dari Kota Pelaihari (Ibu kota Tanah Laut) dan sekitar 87 kilometer dari Kota BanjarmasinWisata Pantai Takisung merupakan salah satu lokasi wisata andalan bagi Kabupaten Tanah Laut. Pantai Takisung berada di Desa TakisungKecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebagai sebuah destinasi wisata, Pantai Takisung memiliki  pesona dengan pemandangan pantai dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa dengan ciri khas pasirnya yang coklat seperti warna air lautnya (untuk identifikasi airnya, yaitu dari hasil observasi didapatkan pH airnya 9 yang tergolong basa dengan suhu 250 °C dan kecepatan aliran airnya sebesar 1927 rpm, sedangkan tingkat kecerahan airnya sebesar 32 cm), Dilengkapi dengan jajanan khas pantai, mulai dari ikan asin, hiasan kerang, udang, ikan, sampai terumbu karang langsung dari nelayan.
Ditengah-tengah posisi pantai disela-sela pasir yang berwarna coklat tersebut teronggok sebuah alat yang masih menyimpan misteri. Alat yang terbuat dari besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil 1763. Sampai tulisan ini dibuat masih belum ditemukan catatan tentang fungsi dan apa manfaat alat tersebut.
Kalau kita mencoba untuk menelusuri sejarah pada abad ke-17 Tabanio daerah terdekat dengan Takisung, merupakan sebuah kampung di sekitar sungai Tabanio di pantai selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan kawasan strategis dengan potensi ekonomi yang tinggi karena hasil lada, perikanan, dan tambang emas di daerah Pelaihari.
Belanda (VOC) pada masa itu sangat tertarik untuk menguasai Tabanio. Hal tersebut tertulis pada sebuah eprjanjian antara Belanda dengan kesultanan Banjar. Tanggal 6 Juli 1779 VOC membuat perjanjian dengan Sultan Banjar mengenai monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian tersebut termuat tentang pengaturan mengenai pembangunan benteng di Tabanio. Untuk merealisasikan perjanjian tersebut  Belanda (VOC) membangun sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di sekitar muara Sungai Tabanio. Masing-masing sudut benteng diperlengkapi dengan bastion yang berbangun bundar. Pintu gerbang menghadap ke laut. Tembok benteng terbilang cukup tinggi, yakni setinggi tubuh gapura. Pada 1791, seorang insinyur Belanda, C. F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah desain benteng yang cukup besar di lokasi tersebut, namun sepertinya tidak direalisasikan.
Kemudian Kalau kita coba amati sejarah nusantara pada tahun 1808, pada saat wilayah nusantara berada dibawah pendudukan Belanda (Perancis), seorang gubernur jenderal H.W Daendels mendapat tugas untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membangun jalan raya yang membentang sejauh 1000 km dari Anyer hingga Panarukan. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (Groote Postweg). Kebijakan ini diambil atas dasar kondisi jalan di Pulau Jawa masih berupa jalan setapak dan sangat buruk pada musim hujan, sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama. Berbeda dengan kondisi jalan yang ada di Eropa berdasarkan pengalaman Daendels. Jalan yang dibangun tersebut beberapa ruas hanya dilakukan pemadatan dan pengerasan dengan pasir dan batu agar lebih kuat dan tidak berlumpur saat hujan, sehingga bisa dilintasi kereta kuda. Beberapa ruas lagi adalah jalur baru yang terkoneksi dengan jalan yang sudah ada, seperti dari wilayah Bogor menuju Bandung yang melintasi daerah pegunungan Megamendung dan Puncak. Akhirnya jalan ini berhasil diselesaikan sekitar tahun 1810 atau hanya dua tahun masa pembangunan.
Mengamati catatan sejarah tersebut dengan menghubungkan keberadaan benteng Tabanio sebagai pertahanan daerah pusat pemerintahan belanda di Tabanio sekaligus memperhatikan kebijakan deandles di kepulauan jawa maka dapat diasumsikan hubungan peralatan colonial yang ada dipantai takisung tersebut merupakan Light Petrol Roller sehingga ada sebuha kemungkinan yang cukup besar bahwa peralatan besi tulen bertuliskan Barford & perkins Peterbrough Oil 1763 tersebut digunakan sebagai alat untuk pembuatan jalan antara tabanio, takisung dan menuju kota pelaihari.
Namun asumsi ini kemungkinan akan masih dapat berkembang seiring dengan adanya bukti-bukti baru yang lebih valid, tetapi kita dapat menafsirkan bahwa pada saat keberadaan benteng di tabanio, pembangunan di daerah tabanio pada zaman itu sudah begitu pesat. Hal tersebut dimungkinkan karena tabanio tidak saja sebagai sebuah kota pelabuhan tetapi juga merupakan sebuah kota sebagai pusat pemerintahan pada zaman penjajahan Belanda.

DINAMIKA TAKISUNG & PANTAINYA DARI TAHUN KE TAHUN


Takisung adalah sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan SelatanIndonesia. Dari segi administrasi pemerintahan, kecamatan Takisung terdiri dari 12 desa, dimana terdapat 169 RT dengan jumlah terbanyak berada di Desa Tabanio yang terbagi menjadi 22 RT dan juga ada berbagai macam suku seperti suku jawa, suku banjar, suku cina dan suku madura. Agamanya pun tidak hanya Islam tetapi juga ada sebagian kecil yang beragama Kristen.
Takisung adalah salah satu permukiman tertua di Tanah Laut, nama daerah ini sudah ada di dalam Hikayat Banjar yang ditulis pada masa Raja Banjar Islam ke-1 Sultan Suriansyah (1520-1546). Takisung jelas tertulis pada masa itu, yaitu hikayat hubungan Kerajaan banjar dan Kerajaan Sambas (Johannes Jacobus RasHikayat Banjarditerjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim).
Diceritakan pada Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan :
Sudah itu maka orang Sebangauorang Mendawaiorang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawaiorang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukanorang Paserorang Kutaiorang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.[10]
Selain itu
Maka Patih Balit itu kembali maka datang serta orang bantu itu. Maka orang yang takluk tatkala zaman maharaja Suryanata sampai ke zaman Maharaja Sukarama itu, seperti negeri Sambas dan negeri Batang Lawai dan negeri Sukadana dan Kota Waringin dan Pembuang dan Sampit, Mendawai dan Sebangau dan Biaju Besar dan orang Biaju Kecil dan orang negeri Karasikan dan Kutai dan Berau dan Paser dan Pamukan dan orang Laut-Pulau dan Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan Tambangan Laut dan orang Takisung dan Tabuniau, sekaliannya itu sudah sama datang serta senjata serta persembahnya. Sama suka hatinya merajakan Pangeran Samudera itu. Sekaliannya orang itu berhimpun di Banjar dengan orang Banjarmasih itu, kira-kira orang empat laksa. Serta orang dagang itu, seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Mangkasar, orang Jawa yang berdagang itu, sama lumpat menyerang itu. Banyak tiada tersebut.[10]

Bukti lain yang menyebutkan keberadaan takisung pada masa lampau adalah adanya perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan banjar pada tahun 1823. SSebagai salah satu pintu gerbang/tol perdagangan di Kalimantan Pihak Hindia Belanda menyebut wilayah di Tanah Laut dengan sebutan Landen Laut (negeri laut/darat laut/tanah laut) di Kalimantan. Sekitar tahun 1842 Tabanio menjadi salah satu pos utama Belanda sebagai bagian dari zuid en oostkust van borneo/wilayah Pantai Selatan dan Timur Borneo yang berpusat di Banjarmasin. Pos ini dipegang oleh J. F. Mallien.
Tahun 1843 Tabanio dijadikan Afdeeling Tabenio di bawah wilayah Pantai Selatan dan Timur Borneo. Afdeling ini dipegang oleh J. F. Mallien sebagai Posthouder der Landen Laut/Pemegang Pos Tanah Laut dengan Kiai Jaija Negara sebagai petinggi dari pribumi.
Melihat letak Takisung sangat dekat dengan Tabanio, maka dapat ditafsirkan bahwa takisung merupakan sebuah desa yang sudah ada sejak lama.
Dari sebuah sumber menyebutkan bahwa istilah Takisung sendiri berasal dari nama orang cina yang datang ke daerah tersebut. Orang cina yang didtangkan oleh kerajaan Banjar yang bernama Tan Kie Soeng. Sehingga dari nama itulah menjadi melekat nama sebuah tempat Takisung hingga sekarang.
Takisung Terletak pada  -114,603° – 114,697° BT  -3,72207° – 3,99539° LS, dengan batas  Utara  Kecamatan Kurau, Timur Kecamatan Pelaihari, Barat Laut Jawa, Selatan Kecamatan Panyipatan. Sedangkan  ketinggian dari permukaan laut 5 meter, dengan luas wilayah 343,00 km². Kecamatan Takisung memiliki 12 buah desa dan memiliki panjang pantai 30 Km, salah satunya adalah Pantai Takisung.
Pantai Takisung memiliki sarana dan prasarana antara lain: jalan yang beraspal menuju obyek wisata, wc umum, kamar mandi, areal parkir, pasar ada pedagang ikan dan buah-buahan, pedagang makanan, minuman dan pedagang cendera mata, panggung, shalter (tempat berteduh), restoran dan tempat bermain, spot selfi dll.
Luas areal wisata pantai Takisung sekitar 2 ha dengan tipologi pantai berpasir dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa dengan pasirnya yang berwarna coklat seperti air lautnya dengan pH airnya 9 yang tergolong basa dengan suhu 250 °C dan kecepatan aliran airnya sebesar 1927 rpm, sedangkan tingkat kecerahan airnya sebesar 32 cm.
Pada era tahun 1970an pantai takisung ini dalam pengelolaan oleh fihak swasta yaitu PT Junjung Buih. Konsesi pengelolaan selama 25 tahun. Pada masa itu pantai takisung sekelilingnya ditutup dengan pagar ulin, dan opada masa itu dapat dikatakan masa kejayaan pantai takisung, pada zaman itulah pantai takisung sangat dikenal sebagai obyek wisata yang ada dikalimantan selatan. Tetapi sejak masa konsesi habis pada tahun awal-awal 1990an pengelolaan diambil  tidak diperpanjang lagi tetapi langsung dikelola oleh Pemerintah kabupaten Tanah Laut. hingga sampai sekarang. Pada era 1990an seiring dengan dinamika pemerintahan serta dinamika masyarakat pantai takisung mengalami kemunduran ditambah lagi semakin tumbuhnya obyek-obyek wisata baru diberbagai tempat di Kalimantan selatan. Sejak tahun 2014 perlahan pantai takisung mulai dilakukan pembenahan dan penataan secara serius oleh pemerintah kabupaten tanah laut, sehingga hasilnya sekarang mulai Nampak perkembangan yang cukup positif, baik dari sisi penataan maupun perputran ekonomi serta kunjungan wisatanya. Untuk memudahkan dalam pengelolaannya Pantai Takisung sekarang ini oleh Pemerintah Kabupaten Tanah laut mendirikan sebuah Unit Pengelola Teknis Pantai Takisung yang menjadi kepanjangan tangan Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Laut. Sehingga dalam pengelolalaannya lebih efektif. Saat ini UPT pantai Takisung dikepalai seorang kepala UPT, dengan dibantu 8 (delapan) orang tenaga honor.



"DATU DAIM" SOSOK YANG MASIH BANYAK MENYIMPAN MISTERI

Datu Daim, selama ini dikenal oleh sebagian masyarakat pelaihari hanya nama sebuah jalan, yang berada tidak jauh dari Pasar Tuntung Pandan...