Thursday 20 June 2019

TANAH LAUT PERNAH MEMILIKI SEBUAH KERAJAAN KECIL



Sejak abad ke 6 Tanah Laut sebagai bagian wilayah perluasan peradaban Kerajaan Nan Sarunaikerajaan yang pada awalnya didirikan oleh suku Dayak Maanyan di daerah Amuntai, tahun 242 SM. Kerajaan ini bertahan selama lebih dari 1600 tahun hingga akhirnya runtuh diserang oleh Kerajaan Majapahit yang dipimpin Laksamana Nala sekitar tahun 1358, akibatnya masyarakat Dayak Maanyan pun terpaksa mengungsi ke pedalaman. Kemudian tahun 1360 Kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Kuripan sebagai bawahan di bekas wilayah Nan Sarunai.
Sekitar tahun 1387 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dalam kerajaan Negara Dipa yang didirikan Mpu Jatmika sebagai bawahan Majapahit. Negeri ini merupakan peleburan dari kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri, dengan pusat pemerintahannya terletak di Amuntai. Tahun 1478 Negara Dipa berubah menjadi Negara Daha.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1525 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dari Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudra sebagai rajanya. Tanah Laut menjadi salah satu wilayah teritorial Negara Agung kesultanan Banjar pada sekitar abad ke 15-17, terdiri dari Satui (sekarang wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), Tabanio (sekarang masuk kecamatan Takisung Kab Tanah Laut, dan Maluka (sekarang sebuah desa di Kecamatan Kurau)
  VOC Belanda pada tahun 1602 di Kalimantan Selatan ditandai dengan mendirikan sebuah benteng pertahanan di sekitar muara Sungai Tabanio pada tahun 1789, terkait dengan perjanjian antara Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga dan VOC tanggal 6 Juli 1779, dimana VOC mendapatkan konsesi berupa monopoli atas perdagangan di Banjar serta berhak membangun sebuah benteng. Pemicu kehadiran VOC di Tanah Laut adalah potensi perkebunan lada dan perikanan di Tabanio serta tambang emas di Pelaihari, penguasaan terhadap rempah-rempah dan tambang batu bara yang ada di Banyu Irang.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran Belanda adalah Maluka, biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko, ditemukan di dalam Tractaat 13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah Maluka dengan Molucco. Begitu pun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut dengan Molukko. Sementara itu, di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 Maluku disebut atau ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette dalam artikelnya, Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde(1906). J.P. Moquette (1906)
Masa keemasan VOC Belanda tidak berumur lama setelah Setelah invasi Britania Raya sukses , VOC Belanda akhirnya sempat meninggalkan tanah jajahannya, dan menyerahkan pengelolaannya kepada East Indian Company (IEC), maskapai perdagangan milik Kerajaan Inggris. . Sebagai penguasa di Nusantara, ditunjuk Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
Kedatangan bangsa Ingrgris tidak saja di pulau Jawa tetapi merambah ke pulau Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Selatan dengan ada Perjanjian pemerintah Inggris dengan Sultan Banjar, bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah di antaranya adalah daerah ibukota, benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir, Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Tak mengherankan, jika Alexander Hare akhirnya yang dikirim ke wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Banjar itu. Hare yang lahir di London, pada awal 1780-an ini ditugaskan khusus oleh Raffles untuk menjaga garis pantai Kalimantan agar tetap dalam kekuasaan Inggris. Begitupula, keputusan Serikat Batavia bahwa Kalimantan menjadi objek penelitian karena khazanah kekayaan alam dan budayanya untuk generasi Inggris ke depan.
Pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Rafflesmenunjuk Alexander Hare sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar. Ia mendapatkan sebagian wilayah Tanah Laut tepatnya di Maluka (Maluka, Liang Anggang, Kurau, Pulau Lampai, dan Pulau Sari) dari Sultan Banjar dan membangun markas di sana sebagai basis kolonial Inggris di Kalimantan Selatan. Wilayah-wilayah ini disebut-sebut sebagai daerah kaya dengan batubara dan emas. Namun dalam perkembangannya Hare justru menjadikan tempat itu sebagai rumah pribadinya, di mana ia menghabiskan banyak waktunya hanya bersama para haremnya, tanpa mengurus pemerintahan Inggris yang telah diwakilkan padanya.  Alexander Hare mendatangkan para buruh imigran penambang timah asal Pulau Bangka dan Belitung ke Tanah Banjar, termasuk Tanah Laut.
Hare kemudian mengakuisisi 1,400 mil persegi tanah dari Sultan Bandjermassin dan menetapkannya sebagai negara merdeka yang ia jalankan sebagai wilayah pribadi, dengan otonom penuh untuk mengendalikan daerah Maluka bahkan dengan mencetak uang sendiri versi DOIT MALUKA, dengan kondisi tersebut wilayah Maluka yang berada di Tanah Laut bak sebuah “kerajaan kecil” yang dikendalikan oleh Alexander Hare,   Dengan demikian dia bisa disebut Raja Putih pertama di Kalimantan, 30 tahun sebelum James Brooke mendirikan dinasti Raja Putih sendiri di Sarawak
Kehadiran Alexander Hare dalam sejarahnya, di pulau Kalimantan atau dulu lebih dikenal dengan nama Borneo, dalam sejarahnya pulau Kalimantan pernah mempunyai dua orang "Raja Putih" yang memerintah di koloninya masing-masing. Yang pertama adalah adalah Alexander Hare, seorang raja putih yang memerintah di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan koloni pribadinya yang bernama Maluka pada tahun 1812-1814, Sedangkan yang kedua Rajah Putih Brooke, yang memerintah Sarawak di Kalimantan Utara pada tahun 1841-1946.
Namun masa pemerintahan si “Raja Putih” Alexander Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya 2 (dua) tahun saja. Pada waktu setelah kejatuhan VOC, Belanda mulai "mengambil alih" sebagian daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dengan kejatuhan VOC maka berakhir pula kekuasaan Alexander Hare di Maluka, dan otomotis runtuhlah kerajaan kecil kerajaan Maluka di Tanah Laut.


DINAMIKA TAKISUNG & PANTAINYA DARI TAHUN KE TAHUN

Takisung  adalah sebuah  kecamatan  yang ada di Kabupaten  Tanah Laut , Provinsi  Kalimantan Selatan ,  Indonesia . Dari segi administ...