Sejak abad ke 6 Tanah Laut sebagai bagian wilayah
perluasan peradaban Kerajaan Nan Sarunai, kerajaan yang pada awalnya didirikan oleh suku Dayak Maanyan di daerah Amuntai, tahun 242 SM. Kerajaan
ini bertahan selama lebih dari 1600 tahun hingga akhirnya runtuh diserang oleh
Kerajaan Majapahit yang dipimpin Laksamana Nala sekitar tahun 1358,
akibatnya masyarakat Dayak Maanyan pun terpaksa mengungsi ke pedalaman.
Kemudian tahun 1360 Kerajaan Majapahit mendirikan kerajaan Kuripan sebagai bawahan di bekas wilayah Nan Sarunai.
Sekitar tahun 1387 wilayah Tanah Laut menjadi bagian
dalam kerajaan Negara Dipa yang
didirikan Mpu Jatmika sebagai bawahan Majapahit. Negeri ini merupakan peleburan
dari kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri, dengan pusat pemerintahannya terletak di
Amuntai. Tahun 1478 Negara Dipa berubah menjadi Negara Daha.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1525 wilayah Tanah
Laut menjadi bagian dari Kerajaan
Banjar dengan Pangeran
Samudra sebagai rajanya. Tanah
Laut menjadi salah satu wilayah teritorial Negara Agung kesultanan Banjar pada sekitar abad ke 15-17, terdiri dari Satui
(sekarang wilayah Kabupaten Tanah Bumbu), Tabanio (sekarang masuk kecamatan
Takisung Kab Tanah Laut, dan Maluka (sekarang sebuah desa di Kecamatan Kurau)
VOC Belanda pada
tahun 1602 di Kalimantan Selatan ditandai dengan mendirikan sebuah
benteng pertahanan di sekitar muara Sungai Tabanio pada tahun 1789, terkait dengan perjanjian antara Kesultanan
Banjar semasa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga dan VOC tanggal 6 Juli 1779,
dimana VOC mendapatkan konsesi berupa monopoli atas perdagangan di Banjar serta
berhak membangun sebuah benteng. Pemicu kehadiran VOC di Tanah Laut adalah
potensi perkebunan lada dan perikanan di Tabanio serta tambang emas di
Pelaihari, penguasaan terhadap rempah-rempah dan tambang batu bara yang ada di
Banyu Irang.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran Belanda adalah Maluka,
biasanya ditulis dengan sebutan Maloeka atau Molukko, ditemukan di dalam Tractaat
13 Agustus 1787 dan Alteratie en Ampliatie Op Het Contract Met
Den Sulthan Van Bandjarmasin Van 1 Januarij 1817 yang menyebut daerah
Maluka dengan Molucco. Begitu pun dengan istilah yang terdapat di dalam Contract
Met Den Sultan Van Bandjermasin 4 Mei 1826, Maluka disebut dengan
Molukko. Sementara itu, di dalam Ampliate En Verklaring Op Het Contract
Met Den Sultan Van Bandjarmasin 18 Maret 1845 Maluku disebut atau
ditulis dengan Maloekoe, sama dengan yang digunakan J.P. Moquette dalam
artikelnya, Iets Over De Munten Van Bandjarmasin En Maloeka, yang
terdapat dalam Tijdschrif Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde(1906).
J.P. Moquette (1906)
Masa keemasan VOC Belanda tidak berumur lama setelah Setelah invasi
Britania Raya sukses
, VOC Belanda akhirnya sempat meninggalkan tanah jajahannya, dan menyerahkan
pengelolaannya kepada East
Indian Company (IEC), maskapai perdagangan milik Kerajaan
Inggris. . Sebagai penguasa di Nusantara, ditunjuk Gubernur Jenderal Thomas
Stamford Raffles
Kedatangan bangsa Ingrgris tidak saja di pulau
Jawa tetapi merambah ke pulau Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Selatan
dengan ada Perjanjian pemerintah Inggris dengan Sultan
Banjar, bahwa Sultan Sulaiman Alamah Tahmidullah menyerahkan sepenuhnya
kedaulatan yurisdiksi atas beberapa daerah di antaranya adalah daerah ibukota,
benteng pertahanan, wilayah Kuin, pulau Tatas yang merupakan bagian dari
Provinsi Dayak, Mandawai, Sampit, Kuala Pembuang termasuk Sintang dan
sekitarnya, Lawie dan Jalai, Bakumpai dan Doosan, Baran Katia, Kabupaten Pasir,
Pagatan dan Pulau Laut. Hal tersebut mengindikasikan betapa luas daerah yang
diberikan oleh Sultan Sulaiman yang berkuasa pada saat itu kepada Inggris.
Dari beberapa daerah yang disebutkan tersebut tidak
terdapat daerah Maluka. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953), daerah Maluka
memang tidak dimasukkan karena daerah Maluka merupakan tanah eigendom atau
konsesi dan merupakan bagian dari daerah atau distrik Pulau Laut.
Tak mengherankan, jika Alexander Hare
akhirnya yang dikirim ke wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Banjar itu. Hare
yang lahir di London, pada awal 1780-an ini ditugaskan khusus oleh Raffles
untuk menjaga garis pantai Kalimantan agar tetap dalam kekuasaan Inggris.
Begitupula, keputusan Serikat Batavia bahwa Kalimantan menjadi objek penelitian
karena khazanah kekayaan alam dan budayanya untuk generasi Inggris ke depan.
Pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Rafflesmenunjuk Alexander
Hare sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar. Ia
mendapatkan sebagian wilayah Tanah Laut tepatnya di Maluka (Maluka, Liang
Anggang, Kurau, Pulau Lampai, dan Pulau Sari) dari Sultan Banjar dan membangun
markas di sana sebagai basis kolonial Inggris di Kalimantan Selatan.
Wilayah-wilayah ini disebut-sebut sebagai daerah kaya dengan batubara dan
emas. Namun dalam perkembangannya Hare justru menjadikan tempat itu
sebagai rumah pribadinya, di mana ia menghabiskan banyak waktunya hanya bersama
para haremnya, tanpa mengurus pemerintahan Inggris yang telah diwakilkan
padanya. Alexander Hare mendatangkan para buruh imigran penambang timah
asal Pulau Bangka dan Belitung ke Tanah Banjar, termasuk Tanah Laut.
Hare kemudian mengakuisisi 1,400 mil persegi
tanah dari Sultan Bandjermassin dan menetapkannya sebagai negara
merdeka yang ia jalankan sebagai wilayah pribadi, dengan otonom penuh untuk
mengendalikan daerah Maluka bahkan dengan mencetak uang sendiri versi DOIT
MALUKA, dengan kondisi tersebut wilayah Maluka yang berada di Tanah Laut bak
sebuah “kerajaan kecil” yang dikendalikan oleh Alexander Hare, Dengan
demikian dia bisa disebut Raja Putih pertama di Kalimantan, 30 tahun
sebelum James Brooke mendirikan dinasti Raja
Putih sendiri di Sarawak
Kehadiran Alexander Hare dalam sejarahnya, di pulau Kalimantan atau
dulu lebih dikenal dengan nama Borneo, dalam sejarahnya pulau Kalimantan pernah
mempunyai dua orang "Raja Putih" yang memerintah di koloninya
masing-masing. Yang pertama adalah adalah Alexander Hare, seorang raja putih
yang memerintah di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan koloni
pribadinya yang bernama Maluka pada tahun 1812-1814, Sedangkan yang kedua Rajah
Putih Brooke, yang memerintah Sarawak di Kalimantan Utara pada tahun 1841-1946.
Namun masa pemerintahan si “Raja Putih”
Alexander Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya 2 (dua) tahun
saja. Pada waktu setelah kejatuhan VOC, Belanda mulai "mengambil
alih" sebagian daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dengan kejatuhan VOC
maka berakhir pula kekuasaan Alexander Hare di Maluka, dan otomotis runtuhlah
kerajaan kecil kerajaan Maluka di Tanah Laut.